Bertengger: Seekor rangkok paruh putih (Buceros rhinoceros) tampak bertengger di dahan beringin di Kompleks Perumahan Chevron Rumbai.
Area hutan sekundari tua seluas 400 hektar di Kawasan Kompleks Chevron Pacific Indonesia (CPI) tak hanya sekedar jadi paru-paru Kota Pekanbaru. Tetapi juga menjadi tempat hidup bagi 103 jenis hewan yang dilindungi dan kompleks perumahan yang ada didalamnya tak ubah seperti taman safari. Penghuni kompleks dan hewan-hewan di dalam hutan tersebut hidup berdampingan dengan tenang.
Laporan Andi Noviriyanti, Rumbai andinoviriyanti@riaupos.co.id
Jika anda pernah berkunjung ke Taman Safari Bogor, maka di sana yang dikurung bukanlah hewan-hewan di dalam kandang. Namun manusialah yang harus senantiasa bersembunyi di dalam mobil atau kendaraan masing-masing sembari memberi makan hewan dari kaca jendela mobil yang setengah terbuka.
Pengalaman inilah yang dialami oleh tim Riau Pos For Us, pada Rabu (6/4) lalu. Mengawali perjalanan yang diikuti dengan mendung, sempat membuat kami merasa sia-sia untuk bisa melihat hewan-hewan yang katanya sering bermain di perumahan masyarakat Camp Chevron. Namun matahari yang terus bertahan hingga sore menjadi saksi serunya kegiatan safari kami kali ini.
Sekitar pukul empat lebih, tim mulai menyusuri bebarapa ruas jalan di kompleks perumahan tersebut. Benar saja, tidak lama, kami menyaksikan kerumunan monyet sejenis beruk yang tengah aksi bercengkerama dengan anggota keluarganya. “Ini adalah monyet jenis beruk,” terang Lukmanul Hakim (24) park ranger Chevron yang menemani perjalanan kami.
“Jangan keluar, mereka suka menyerang,” ujar Okta Heri Fendi, staff media relations PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang ketika itu turut menemani tim Riau Pos, mengelilingi kompleks perumahan Camp Chevron Rumbai. Namun kerumunan beruk yang tengah berkeliaran memetiki buah-buah pohon perdu rendah tersebut tampak tidak berbahaya sama sekali.
“Biasanya hewan-hewan seperti babi hutan (Potamochoerus porcus) dan beberapa jenis monyet memiliki jam-jam penampakan diri (keluar dari hutan dan mencari makan di sekitaran rumah warga),” ujar Hakim panggilan park ranger yang tengah menunggu gelar S1 dari jurusan biologi, FMIPA, Unri tersebut.
Pagi hari mereka akan terlihat berkeliaran pada pukul enam sampai delapan malam, kemudian sore hari sekitar pukul empat hingga enam. Namun pengecualian untuk burung elang yang baru terlihat pada jam sembilan ke atas.
“Terutama pada saat-saat setelah hujan, maka babi hutan akan keluar untuk mencari cacing-cacing ditanah gembur,” cerita Okta panggilan akrab karyawan Chevron yang juga tinggal di dalam kompleks perumahan tersebut. Meskipun tanamannya kerap menjadi santapan babi liar, namun Okta tidak merasa kecewa. “Mau bagaimana lagi, karena tidak mungkin untuk diusir,” tawanya.
Hakim menjelaskan bahwa kedatangan babi dan monyet selalu bergerombolan atau berkelompok. Bahkan untuk babi bisa berkisar 6-11 ekor tiap gerombolannya. Hal tersebut tampak jelas sebab tak jarang tanah-tanah halaman masyarakat Camp Chevron Rumbai seperti habis di obrak-abrik sekawanan hewan pencari cacing.
Puas menyaksikan tingkah polah hewan mamalia ini, kami melanjutkan perjalanan menuju tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh hewan-hewan liar yang berasal dari hutan disekitar kompleks.
Tiba-tiba fotografer kami meminta berhentikan mobil yang di supiri oleh Okta tersebut. “Itu, di dahan sana ada rangkok paruh putih,” serunya, kontan membuat antusias kami semakin naik. Sepasang rangkok yang tengah memberi makan anaknya tengah bertengger di dahan pohon beringin, tidak jauh dari jalan raya.
Tengah dalam kesulitan mendapatkan gambar rangkok (Buceros rhinoceros) yang tampak malu-malu, fotografer Riau Pos dikagetkan oleh teriakan seorang tim yang menyaksikan tupai (Glaucomys sabrinus) dengan ekor berwarna jingga, berlompatan di dahan-dahan kayu.
Perjalanan disore hari tersebut semakin terasa penuh kejutan ketika terlihat seekor elang ular bido (Spilornis cheela) yang sedang memakan mangsanya di tanah, tidak jauh dari tempat parkir mobil kami. Dengan ciri-ciri khasnya, berukuran sedang berwarna gelap, bulu badannya berwarna cokelat gelap, mahkota berupa jambul pendek, serta di antara mata dan paruh khas berwarna kuning.
Banyaknya hewan yang datang dan pergi disekitar perumahan di camp tersebut. Hal tersebut menurut Okta karena pihak perusahaan sangat menjaga kawasan atau tempat lintasan hewan tersebut.
“Lihat, disana ada plang bercat putih dengan tulisan berwarna merah,” tunjuknya pada sebuah plang yang berada di by pass (jalan di dalam kompleks yang membelah dua bagian kawasan hutan). Okta menerangkan bahwa plang tersebut sangat jarang terdapat di tempat-tempat lain. Ini merupakan peringatan kepada masyarakat bahwa kawasan tersebut merupakan zona lintasan hewan. Sehingga setiap pengguna jalan harus berhati-hati kalau-kalau ada hewan yang tengah melintas. Dan hewan tersebut tidak boleh diganggu.
“Karena tidak boleh diganggu apalagi diburu, maka cenderung perkembang biakan hewan-hewan tertentu meningkat tajam,” terang Okta. Sebut saja, lanjutnya, babi hutan yang satu kali reproduksi bisa melahirkan berpuluh anak, sementara predatornya tumbuh sangat lambat. Sehingga hewan yang sering dianggap hama (karena memakan umbi-umbian penduduk) oleh masyarakat awam tersebut tumbuh sangat subur di kawasan hutan Chevron.
“Kita sudah ada wacana untuk memindahkan kawanan ini ke kawasan hutan Dumai bekerja sama dengan BKSDA, namun masih dalam tahap perencanaan berikutnya,” ungkap Hakim.
Lanskap hutan di sekitar kami menambah asri perjalanan safari yang membuat kami seakan berada di kawasan kebun binatang sungguhan. Walaupun tidak beruntung karena tidak dapat melihat babi hutan seperti rencana awalnya, namun menemukan hewan-hewan unik lainnya sudah lebih dari untuk sore yang indah tersebut. (tya-gsj)
Laporan Andi Noviriyanti, Rumbai andinoviriyanti@riaupos.co.id
Jika anda pernah berkunjung ke Taman Safari Bogor, maka di sana yang dikurung bukanlah hewan-hewan di dalam kandang. Namun manusialah yang harus senantiasa bersembunyi di dalam mobil atau kendaraan masing-masing sembari memberi makan hewan dari kaca jendela mobil yang setengah terbuka.
Pengalaman inilah yang dialami oleh tim Riau Pos For Us, pada Rabu (6/4) lalu. Mengawali perjalanan yang diikuti dengan mendung, sempat membuat kami merasa sia-sia untuk bisa melihat hewan-hewan yang katanya sering bermain di perumahan masyarakat Camp Chevron. Namun matahari yang terus bertahan hingga sore menjadi saksi serunya kegiatan safari kami kali ini.
Sekitar pukul empat lebih, tim mulai menyusuri bebarapa ruas jalan di kompleks perumahan tersebut. Benar saja, tidak lama, kami menyaksikan kerumunan monyet sejenis beruk yang tengah aksi bercengkerama dengan anggota keluarganya. “Ini adalah monyet jenis beruk,” terang Lukmanul Hakim (24) park ranger Chevron yang menemani perjalanan kami.
“Jangan keluar, mereka suka menyerang,” ujar Okta Heri Fendi, staff media relations PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang ketika itu turut menemani tim Riau Pos, mengelilingi kompleks perumahan Camp Chevron Rumbai. Namun kerumunan beruk yang tengah berkeliaran memetiki buah-buah pohon perdu rendah tersebut tampak tidak berbahaya sama sekali.
“Biasanya hewan-hewan seperti babi hutan (Potamochoerus porcus) dan beberapa jenis monyet memiliki jam-jam penampakan diri (keluar dari hutan dan mencari makan di sekitaran rumah warga),” ujar Hakim panggilan park ranger yang tengah menunggu gelar S1 dari jurusan biologi, FMIPA, Unri tersebut.
Pagi hari mereka akan terlihat berkeliaran pada pukul enam sampai delapan malam, kemudian sore hari sekitar pukul empat hingga enam. Namun pengecualian untuk burung elang yang baru terlihat pada jam sembilan ke atas.
“Terutama pada saat-saat setelah hujan, maka babi hutan akan keluar untuk mencari cacing-cacing ditanah gembur,” cerita Okta panggilan akrab karyawan Chevron yang juga tinggal di dalam kompleks perumahan tersebut. Meskipun tanamannya kerap menjadi santapan babi liar, namun Okta tidak merasa kecewa. “Mau bagaimana lagi, karena tidak mungkin untuk diusir,” tawanya.
Hakim menjelaskan bahwa kedatangan babi dan monyet selalu bergerombolan atau berkelompok. Bahkan untuk babi bisa berkisar 6-11 ekor tiap gerombolannya. Hal tersebut tampak jelas sebab tak jarang tanah-tanah halaman masyarakat Camp Chevron Rumbai seperti habis di obrak-abrik sekawanan hewan pencari cacing.
Puas menyaksikan tingkah polah hewan mamalia ini, kami melanjutkan perjalanan menuju tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh hewan-hewan liar yang berasal dari hutan disekitar kompleks.
Tiba-tiba fotografer kami meminta berhentikan mobil yang di supiri oleh Okta tersebut. “Itu, di dahan sana ada rangkok paruh putih,” serunya, kontan membuat antusias kami semakin naik. Sepasang rangkok yang tengah memberi makan anaknya tengah bertengger di dahan pohon beringin, tidak jauh dari jalan raya.
Tengah dalam kesulitan mendapatkan gambar rangkok (Buceros rhinoceros) yang tampak malu-malu, fotografer Riau Pos dikagetkan oleh teriakan seorang tim yang menyaksikan tupai (Glaucomys sabrinus) dengan ekor berwarna jingga, berlompatan di dahan-dahan kayu.
Perjalanan disore hari tersebut semakin terasa penuh kejutan ketika terlihat seekor elang ular bido (Spilornis cheela) yang sedang memakan mangsanya di tanah, tidak jauh dari tempat parkir mobil kami. Dengan ciri-ciri khasnya, berukuran sedang berwarna gelap, bulu badannya berwarna cokelat gelap, mahkota berupa jambul pendek, serta di antara mata dan paruh khas berwarna kuning.
Banyaknya hewan yang datang dan pergi disekitar perumahan di camp tersebut. Hal tersebut menurut Okta karena pihak perusahaan sangat menjaga kawasan atau tempat lintasan hewan tersebut.
“Lihat, disana ada plang bercat putih dengan tulisan berwarna merah,” tunjuknya pada sebuah plang yang berada di by pass (jalan di dalam kompleks yang membelah dua bagian kawasan hutan). Okta menerangkan bahwa plang tersebut sangat jarang terdapat di tempat-tempat lain. Ini merupakan peringatan kepada masyarakat bahwa kawasan tersebut merupakan zona lintasan hewan. Sehingga setiap pengguna jalan harus berhati-hati kalau-kalau ada hewan yang tengah melintas. Dan hewan tersebut tidak boleh diganggu.
“Karena tidak boleh diganggu apalagi diburu, maka cenderung perkembang biakan hewan-hewan tertentu meningkat tajam,” terang Okta. Sebut saja, lanjutnya, babi hutan yang satu kali reproduksi bisa melahirkan berpuluh anak, sementara predatornya tumbuh sangat lambat. Sehingga hewan yang sering dianggap hama (karena memakan umbi-umbian penduduk) oleh masyarakat awam tersebut tumbuh sangat subur di kawasan hutan Chevron.
“Kita sudah ada wacana untuk memindahkan kawanan ini ke kawasan hutan Dumai bekerja sama dengan BKSDA, namun masih dalam tahap perencanaan berikutnya,” ungkap Hakim.
Lanskap hutan di sekitar kami menambah asri perjalanan safari yang membuat kami seakan berada di kawasan kebun binatang sungguhan. Walaupun tidak beruntung karena tidak dapat melihat babi hutan seperti rencana awalnya, namun menemukan hewan-hewan unik lainnya sudah lebih dari untuk sore yang indah tersebut. (tya-gsj)
0 komentar:
Posting Komentar