Blogger Tricks


0

Batang Sawit Pengganti Kayu

Riau Pos - For Us Selasa, 20 Desember 2011




   Normalnya, sebanyak 180 haktare kelapa sawit yang telah berumur 30 tahun ditumbangkan setiap hari. Kerapatan batang perhektare mencapai 120 batang sawit. Dimata orang awam batangan tersebut hanya limbah tak berguna. Tapi bagi Fakhri, Dosen D3 Teknik Sipil Unversitas Riau, itu merupakan potensi besar sawit selain buahnya.

   Ditemui di kantor Program Studi Diploma 3 (D3) Teknik Sipil, Universitas Riau (15/12), Fakhri, begitu ia kerap dipanggil menyambut tim Riau Pos-For Us dengan ramah. Tanpa banyak basa-basi tim langsung menanyakan tentang awal mulanya Ketua Prodi D3 Teknik Sipil ini mengolah sawit menjadikan furniture rumah tangga.

   “Mungkin ini agak menjauh dari disiplin ilmu Teknik Sipil, hanya saja tetap ada kaitannya. Sebab, sebagai ilmu yang mempelajari tentang konstruksi bangunan, semula kita ingin mencari bahan konstruksi alternatif selain kayu, besi dan baja,” ungkapnya memulai obrolan menjelang siang itu.
    Awalnya ada dua alternatif, lanjutnya, pertama mengolah kayu dari pohon akasia dengan umur pendek namun sudah bisa diproduksi atau mengolah sawit. Akhirnya pilihan jatuh ke sawit karena banyaknya limbah batang sawit yang tidak dikelola, padahal potensinya sangat besar. Dengan luas lahan sawit kurang lebih 20 juta haktare, Riau, menyimpan potensi ekonomis lain dari batang sawit yang telah tua, yaitu dengan menjadikannya papan pengganti kayu.

   Jika batangan sawit yang telah tua dan tidak menghasilkan buah lagi ditumbangkan kemudian tidak diolah. Maka itu akan menjadi limbah yang dapat merusak lingkungan. Kita tahu bahwa tanaman sawit itu sendiri sudah cukup banyak menuai kontroversi pendapat dari kalangan aktivis. Nah, bayangkan saja jika batang sisa penumbangan karena akan diganti dengan sawit baru tidak diolah. Masalah baru lagikan?

   Tergerak untuk menjadi solusi terhadap persoalan itu dan juga demi mendorong perekonomian masyarakat. Maka Fakhri yang telah mengabdi sejak 1996 di Prodi D3 Teknik Sipil tersebut, selama lima tahun terakhir telah meneliti tentang manfaat lain dari limbah sawit. “Kebutuhan masyarakat terhadap kayu tidak dapat dihentikan begitu saja. Kita akan membutuhkan kayu terus menerus. Sementara keberadaan kayu menjadi komoditi yang sangat langka dengan nilai selangit,” tuturnya. Oleh karena itu, tambah pria kelahiran Kuok, Bangkinang ini, dibutuhkan alternatif lain pengganti itu. Batang sawit merupakan pilihan yang bagus.

   Memproduksi kayu dari batang sawit tua bisa dilaksanakan dengan skala usaha kecil menengah (UKM) berbeda dengan kayu partikel yang harus diproduksi secara massal sehingga harus melibatkan industri besar. Oleh karena itu, kayu batang sawit bisa menjadi alternatif bagi perekonomian masyarakat.

   Pengolahannyapun tinggal pilih. Ingin memakai alat berat yang tentunya dengan finansial yang cukup tinggi atau secara sederhana saja namun hasil yang didapatkan tidak kalah bagusnya.

   Fakhri berbagi ilmu bagi pembaca For Us Riau Pos yang berminat terhadap usaha pengolahan batang sawit menjadi kayu ini. pengolahannya cukup sederhana dan terdiri dari empat tahap.

   Berikut adalah tahapan-tahapan yang dibeberkan oleh pria 42 tahun ini. Tahap pertama disebut dengan penebangan. Pohon sawit yang sudah tua dan tidak berproduksi lagi ditebangin dengan chainsaw atau alat penebang lainnya. Kemudian potong batang menjadi beberapa bagian jangan lupa untuk memberi tanda bagian luar dan dalam batang yang telah dipotong.

   Tahap kedua, adalah pembelahan. Belah batang sawit menjadi papan dengan ketebalan antara 2 -3 cm. Hindari ukuran bentuk balok yang tebal, lebih dianjurkan dibelah dan dipotong ukuran pendek-pendek dan tipis.

   Tahap ketiga, dikatakan sebagai tahap pengawetan. Ini merupakan tahap yang urgent, sebab jika batang sawit yang telah dibelah tidak segera diawetkan ia akan cepat berjamur. “Ini merupakan kekurangan dan kendala dalam pengolahan limbah sawit ini,” ungkap Fakhri. Bahkan diawal-awal, ceritanya, saya kerap mengalami hal tersebut karena keterlambatan melakukan pengawetan.

   Batang sawit yang telah berbentuk papan atau balok diawetkan dengan memakai bahan kimia. “Kaporit merupakan pilihan yang baik untuk mengawetkannya,” seru Fakhri memberi tips. Rendamlah papan atau balok sawit dengan air telah diberi kaporit selama dua jam. Setiap 30 menit cairan pangawet diaduk.

   Nah, sekarang masuk pada tahap keempat, yaitu pengeringan. Pada tahap ini papan sawit dikeringkan selama kurang lebih sepuluh hari. “Sampai kadar air di dalamnya mencapai 15 persen,” ungkap alumni master Teknik Sipil UGM tersebut.

   Setelah melalui semua tahapan pembuatan batang hingga menjadi kayu. Selanjutnya tinggal pada kreasi masing-masing orang ingin menjadikan kayu tersebut menjadi apa. “Kalau dijadikan konstruksi bangunan, kayu sawit ini bukan bahan yang kuat. Karena gaya gesernya kaku,” tutur Fakhri mengungkapkan kelemahan dari kayu sawit. Struktur bangunan tersebut contohnya dijadikan jembatan yang akan dilalui oleh mobil-mobil besar. Namun kayu sawit cukup bagus untuk dijadikan peralatan rumah tangga seperti furniture atau meuble.

   Masyarakat bisa memanfaatkan kayu tersebut sebagai kayu bekisting (papan cor), dinding partisi, panil pintu, plafon ringan, bahan bangunan atau kreasi-kreasi lain seperti hiasan dinding, figura foto, pot bunga, asbak rokok. Hal itu juga ditunjang dengan warna dan corak dari kayu sawit yang telah dilaminasi dengan kayu lain sangat bagus dan berwarna warni.

   “Sudah delapan tahun ini, kursi tamu di Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas Riau terbuat dari kayu sawit. Kondisinya baik-baik saja sejauh ini,” promosi pria yang tengah berupaya mengembangkan desa binaan di Desa Sibuak, Kecamatan Tapung, Kampar tersebut.

   Fakhri dan anak-anak Kuliah Kerja Nyata (Kukerta) UNRI gelombang tiga bimbingannya di Kecamatan Tapung memang sedang memperkenalkan teknologi pengolahan limbah batang sawit ini kepada masyarakat di lokasi-lokasi perkebunan sawit. “Di sana kami lebih kepada aplikasi yang mudah, misalnya membuat pot bunga dari kayu sawit, terangnya.

   Animo yang tinggi dari masyarakat dan dukungan penuh dari kepala desa Sibuak menjadikan Fakhri dan para mahasiswa tersebut bersemangat memperkenalkan metode ini. Saat ini yang masyarakat butuhkan adalah teknologi sederhana tepat guna, ungkap Dosen Konstruksi Kayu ini.

   Teknologi tepat guna tersebut misalnya pengolahan limbah, sampah, air bersih, pangan yang murah, ekonomis, praktis namun bisa diaplikasikan dengan mudah. Oleh karena itu, dalam menunggu hak paten keluar Fakhri juga kerap mensosialisasikan penemuannya ini kepada masyarakat di pedesaan.(tya-gsj)

0 komentar:

Posting Komentar