Jika petugas di penangkaran penyu hijau (Chelonia mydas) lalai memberi makan, tukik (anak penyu) tak segan untuk memakan temannya sendiri.
Laporan Andi Noviriyanti, Pulau Jemur andinoviriyanti@riaupos.com
Hari baru saja pukul 11.00 WIB. Langit yang tadi cerah, tiba-tiba mendadak menghitam. Angin kencang dan hujan lebat membuyarkan lamunan kami yang telah lelah melihat ombak dan lautan luas menuju Gugusan Pulau Arwah (Aruah) di Selat Melaka.
Gerakan beberapa awak speedboat yang kami tumpangi bergegas menutup jendela speedboat membuat kami dalam posisi waspada. Apalagi bulan Februari ini dalam laporan Badan Metereologi dan Geofisisika (BMG) dalam status waspada untuk melaut. Bupati Rokan Hilir Annas Maamum sebelum berangkat juga mengingatkan kami untuk mengurungkan niat melihat penangkaran penyu di sekitar Pulau Jemur bila melihat tanda-tanda cuaca buruk.
Namun untunglah, hujan lebat di Jumat (18/2) siang itu tak berlangsung lama. Speedboat kami yang berkekuatan 75 PK tetap melaju di antara rinai hujan. Langit juga kembali cerah saat kami memasuki kawasan Gugusan Pulau Aruah yang berbatu karang.
Gugusan Pulau Aruah merupakan gugusan pulau-pulau terluar Indonesia yang berada di Selat Melaka dan berbatasan langsung dengan Malaysia. Gusuan pulau ini terdiri dari sembilan pulau utama, yakni Tukongperak, Labuhanbilik, Tukongmas, Tukongsimbang, Batuberlayar, Sarangalang, Jemur, Batuadang, dan Batumandi.
Gugusan pulau yang kerap tak terlihat di peta ini, berjarak sekitar 45-50 mill dari Kota Bagansiapi-api, Ibu Kota Kabupaten Rokan Hilir. Berjarak sekitar 328 km dari Kota Pekanbaru, Ibu Kota Provinsi Riau. Sementara itu, dari Malaysia tepatnya Port Klang, gugusan pulau itu hanya berjarak 45 mill.
“Kemana kita mendarat? Ke pangkalan Angkatan Laut atau Pangkalan Perikanan?” ujar nahkoda speedboat.
Salah satu dari kami berujar, “Ke Pangkalan Perikanan”.
Speedboatpun melaju ke arah salah satu pulau. Yang belakangan kami ketahui bernama Labuhanbilik. Bisanya menjadi pulau tempat berlindung nelayan dari hantaman badai, karena bentuknya yang serupa bilik (kamar) luas berbatu karang.
Setelah mendekati pulau tempat pangkalan perikanan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Rokan Hilir ternyat kami tidak bisa merapat ke daratan. “Kita harus menunggu air pasang,” terang sang Nahkoda Kapal.
Speedboat kamipun terpaksa dirapatkan ke kapal-kapal nelayan yang berkumpul dan saling bergandengan tak jauh dari pulau. Agar speedboat kami tak terbawa gelombang.
Sesampai di dekat kapal itu, kami pun melihat aktivitas para nelayan ikan dan juga para pengumpul ikan. Ternyata di tengah laut itulah, transaksi jual beli ikan dilakukan. Dari kapal nelayan ke kapal pengumpul ikan yang ukurannya sekitar tiga kali lipat lebih besar dari kapal nelayan. Rata-rata para nelayan itu berasal dari Sumatera Utara, sementara kapal pengumpul ikannya berasal dari Tanjung Balai Asahan.
“Mungkin sekitar pukul 12 atau jam 1 nanti air pasang,” ujar Thalib (54), seorang nelayan di kapal nelayan tempat kami bertambat memberi keterangan.
Kami pun menunggu air pasang. Namun ketika waktu sudah merangkak satu jam ke depan kami dilanda bosan. Kami telah puas mondar-mandir dari kapal nelayan satu ke nelayan berikut. Melihat aktivitas jual beli ikan hingga ikut menyicipi ikan goreng yang baru dimasak para nelayan. Air laut memang sudah terlihat naik. Tapi belum cukup juga untuk membuat speedboat kami bisa bersandar.
Melihat kami yang telah gelisah, seseorang dari kapal pengumpul ikan, menawarkan kami untuk naik sekoci ke pulau tersebut. Melihat sekoci kecil, berukuran sekitar 2,5 meter dan lebar 75 cm itu, gamang juga perasaan kami. Beberapa orang tampak menurunkan benda-benda di atas sekoci agar bisa kami pakai. Melihat ada beberapa benda berat yang hendak diturunkan dan perasaan kami ragu-ragu untuk naik sekoci, akhirnya naik sekoci diurungkan.
Namun setelah menunggu seperempat jam kemudian dan kembali dilanda gelisah karena melihat air pasang begitu lambat, akhirnya kamipun bertekat naik sekoci. Beberapa orang dari kami masuk sekoci. Sekoci itu terombang-ambing. Tapi menurut para nelayan tidak apa-apa. Akhirnya, satu persatu kamipun masuk. Sampai jumlahnya tujuh orang. Kamipun harus duduk melantai dan menjaga keseimbangan. Takut sekoci itu terbalik. Apalagi yang kami khawatirkan adalah peralatan elektronik yang ada di tas kami.
Dengan perasaan was-was itu, sekoci kamipun tetap dikayuh ke arah pulau. Ternyata sekoci kami tidak diarahkan ke pantai berpasir di hadapan kami. Tetapi ke arah samping, tempat pantai berbatu karang yang berada di sampingnya. Mungkin untuk mengikuti arus, agar gampang mengayuhnya. Gesekan sokoci dan batu karang yang kami lalui, membuat perasaan kami kembali berdebar. Apalagi, saat hendak turun menginjakkan kaki ke batu karang pulau itu. Seseorang dari kami, Amri, yang duluan pernah ke pulau itu mengatakan ada ular batu berbisa yang sangat berbahaya yang bisa tiba-tiba muncul karang-karang itu. Itu sebabnya, kami harus melihat ke bawah dengan hati-hati saat melangkahkan kaki.
Untuk sampai ke pangkalan perikanan, kami harus berjalan memutari pulau. Di tempat itu kami melihat beberapa rumah. Semacam rumah RSS, namun terlihat tanpa penghuni. Di sebuah rumah agak di bagian depan pulau, belakangan kami ketahui menjadi markas bagi petugas dari Dinas Perikanan. Di tempat itu kami disambut Andi Suriyadi (33) dan kawan-kawan. Meskipun tanpa mengabari mereka sebelumnya. Karena memang tidak ada cara untuk mengabari mereka. Disitu tidak ada sinyal handphone.
“Walaupun tanpa kabar, tetap kami sambut,” ujar Andi kepada kami.
Setelah berbincang sejenak, Andi dan beberapa rekannya membawa kami ke sebuah bangunan sederhana tepat berada belakang rumah mereka. Tempat itu, merupakan tempat penangkaran penyu. Ada beberapa bak fiber berwarna biru yang kami temukan di tempat itu dengan berbagai model. Ada yang bulat dan ada yang persegi panjang. Dari beberapa bak fiber itu terlihat hanya tiga yang berisi tukik. Masing-masing bak sepertinya memuat ratusan tukik yang berbeda ukuran. Menurut Andi, tukik itu ada yang berumur beberapa minggu hingga dua bulan. Tukik-tukik itu, tambahnya, sengaja dipisahkan sesuai umur tukik. Terkadang juga dipisahkan berdasarkan ukuran badan. Pasalnya jika yang besar dan kecil digabung, yang besar bisa memakan tukik yang lebih kecil.
Berbincang dengan Andi tentang pemeliharaan tukik-tukik tersebut, ternyata bukan persoalan mudah. Petugas yang merawatnya harus memiliki tingkat ketelatenan yang cukup tinggi. Setiap dua hari sekali mereka harus mengambil air laut untuk mengisi bak. Air bak harus selalu jernih. Jika tidak, tukik tersebut akan mati.
Selain itu, mereka juga harus telaten memberi makan. Makan tukik diberikan pada pagi dan sore hari. Pakannya berupa pelet ataupun ikan. Namun ikan yang diberikan bukanlah ikan hidup. Tetapi sudah berupa potongan kecil-kecil daging ikan. Potongan ikan itu juga harus dipastikan bebas dari tulang ikan.
“Jika kami lalai memberikan makan untuk tukik-tukik itu, maka mereka akan saling bunuh. Mereka makhluk kanibal dan bisa saling makan. Itu sebabnya sekarang yang bertugas memelihara tukik diseleksi. Tidak bisa asal-asalan,” ujar Andi yang ikut menjadi tim penyeleksi mengingat beberapa waktu sebelumnya kerap tukik ditemukan mati karena terlambat diberi makan.
Untuk pemenuhan ikan bagi pakan tukik tersebut, menurut Andi, kerap disumbangkan oleh para nelayan. Biasanya dua hari sekali, para nelayan mengantarkan ikan.
Dipulau yang belum berpenduduk itu, Andi dan teman-temannya di perikanan bergantian untuk memelihara tukik tersebut. Setiap dua pekan sekali, mereka ganti ship. Satu ship terdiri dari lima orang. Beberapa bertugas mengawas untuk urusan kelautan dan perikanan sementara sisanya mengurus penangkaran.
“Biasanya kami merawat tukik-tukik ini hingga umur 4-5 bulan. Biasanya sudah selebar mangkok bakso, baru dilepas,” ujarnya sembari menyebutkan bulan Mei lalu mereka telah melepas sekitar 500-an anak penyu.
Untuk menangkarkan penyu tersebut, menurut Andi, tidak dilakukan terus menerus. Ada masa off-nya, karena mengikuti penanggaran di Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). “Kalau anggaran sudah ketuk palu, barulah program ini di jalankan kembali. Jadi tidak setiap saat penangkaran ini ada,” ujarnya.
Andi juga menyebutkan bahwa mereka tidak melakukan proses penangkaran sendiri. Namun bekerja sama dengan petugas di Pos Pangkalan TNI AL dan Navigasi yang berada di Pulau Jemur. “Penetasan telur penyu memerlukan perlakuan tersendiri dan hanya bisa ditetaskan dengan pasir di tempat penyu bertelur. Jadi kami di sini, hanya membesarkan tukik dari hasil penetasan dari petugas TNI AL dan Navigasi,” cerita Andi.
Usai melihat penangkaran penyu di Pulau Labuhanbilik tersebut, perjalanan kami pun di lanjutkan ke Pulau Jemur, tempat Pangkalan TNI AL dan Navigasi. Hanya butuh waktu sekitar 10 menit untuk sampai ke pulau tersebut dengan speedboat. Sayangnya saat kami berkunjung belum ada telur yang dalam proses pengeraman. “Ini belum musimnya penyu bertelur. Dalam beberapa hari, mungkin hanya satu penyu yang mendarat untuk bertelur,” ungkap Muslik, petugas dari TNI AL yang kami temui di pangkalan TNI AL.
Muslik kemudian memberikan informasi bahwa penyu kerap bertelur bukan di pulau tempat mereka itu. Tetapi pulau yang berada di depan mereka. Pulau kecil berpasir tanpa penduduk ataupun petugas. “Penyu tidak akan bertelur di pulau yang ada suara manusia ataupun cahaya,” ujarnya.
Dia kemudian menunjukkan sebuah bak batu besar yang bisa ditemui sebelum naik ke pos mereka yang berada di atas bukit. “Bak ini dulu, yang kita jadikan tempat penangkaran,” ujarnya.
***
Bila melihat upaya penangkaran penyu hijau di pulau terluar Indonesia itu, orang mungkin tidak akan lupa dengan Sopyan Hadi. Pria yang pernah mendapatkan penghargaan Setia Lestari Bumi dan Kehati Award itu, adalah perintis kegiatan konservasi penyu hijau di pulau tersebut.
Upaya konservasi di tempat itu, di awali dari perjalanannya ke Pulau Jemur sekitar tahun 2001 untuk melihat induk penyu hijau yang bertelur. Untuk sampai ke pulau itu, pria kelahiran Pekanbaru, 30 Agustus 1975 itu menumpang perahu nelayan dengan waktu tempuh sekitar enam jam perjalan dari Kota Bagansiapi-api.
Dari situlah Sopyan jatuh prihatin dengan nasib penyu hijau yang terus diburu. Terutama telur-telurnya. “Telur penyu di Pulau Jemur telah lama dieksploitasi. Bahkan sejak zaman kerajaan dulu. Telur-telur penyu kerap dijadikan upeti bagi sang raja. Sementara saat ini banyak diperjual belikan untuk konsumsi manusia. Telur penyu ini punya nilai ekonomis cukup tinggi. Harga persatuannya berkisar Rp2.500,” paparnya, Rabu (23/2) lalu.
Padahal untuk dapat bertelur, umur penyu sudah harus diatas delapan sampai sepuluh tahun. Ditambah lagi persoalan telur-telur yang masih tersisa belum tentu bisa menetas. Dari ratusan telur yang dihasilkan penyu sekali bertelur, namun paling-paling yang bisa menetas hanya beberapa ekor.
Setelah menetas menjadi tukik pun, tambahnya, belum tentu juga dapat hidup. Mengingat saat menuju laut ataupun sampai di luat mereka kerap menjadi buruan predatornya. Seperti burung camar, gagak, elang sampai ikan moray, belut dan kerapu.
Kondisi itulah yang kemudian mendorong Sopyan untuk melakukan penangkaran. Meskipun menurutnya itu tidak mudah dijalankan. Iapun harus mendekati nelayan dan juga petugas yang kerap mengambil dan menjual telur-telur itu untuk tidak mengeksploitasi semua telur penyu. “Kalau yang sudah penyek ataupun terkena air tawar (hujan) kemungkinan tidak akan berhasil jadi tukik. Nah, kalau itu bisa dimanfaatkan. Jadi tidak bisa mereka disuruh serta merta berhenti. Tetapi harus dipilah-pilah,” jelasnya.
Selanjutnya, Sopyan menuturkan upaya konservasi ditempat itu dimulai dengan membantu pengeraman telur agar bisa menetas lebih banyak. Kalau ayam bisa ditetaskan dengan bantuan lampu, maka dia pun berpikir untuk melakukan hal serupa. Namun karena keterbatasan listrik di tempat itu, membuat dia berpikir lagi mencari cara yang lebih efektif. Terpikirlah untuk memanaskan telur-telur itu dengan pasir.
Pasir it digongseng, lalu dimasukkan ke dalam bak fiber. Lalu telur-telur dimasukkan dengan menyusunnya seperti obat nyamuk. Barulah pasir tadi dimasukkan lagi. Disimpan di gudang minyak TNI AL. Ternyata upayanya itu berhasil. Hampir 85 persen telur yang dieramkan dengan cara itu menetas. Puluhan bahkan ribuan tukik pun berhasil lahir.
Sofyan pun memaparkan keberhasilan itu ke almamaternya. Unri kemudian membantu penyedian bak fiber tambahan. Seiring dengan itu, dia pun berhasil lulus sebagai pegawai negeri sipil di Rokan Hilir dan sempat menjadi ajudan bupati. Hal itu membuatnya mendapatkan kesempatan untuk menceritakan tentang aktivitasnya dan tukik-tukik yang siap berenang di laut itu. Akhirnya, perjauangannya yang dimulai tahun 2002 tersebut disambut oleh Pemerintah Daerah Rokan Hilir.
Menurut Wan Rusli, Kadis Perikanan dan Kelautan Rokan Hilir, Rabu (32/2), Pemda khususnya instansi yang dipimpinnya telah memulai program penangkaran penyu itu sejak tahun 2006 lalu. Setiap tahun mereka menargetkan 5-10 ribu tukik yang bisa ditangkarkan dan akhirnya bisa dilepas ke laut. “Setiap tahun itu dianggarkan di APBD. Nilainya sekitar 40 juta,” ungkap Wan kepada Riau Pos.
Untuk penangkaran tukik-tukik tersebut, instansinya memanfaatkan pegawai Dinas Perikanan, baik pegawai negeri maupun tenaga honor. “Ada sekitar 20 orang yang kami tugaskan di Pulau Jemur. Selain mengawasi perikanan dan kelautan di Pulau Jemur, beberapa di antara mereka ditugaskan untuk penangkaran penyu,” ujarnya.
Petugas yang 20 orang itu, menurutnya terbagi dalam empat kelompok. Satu kelompok terdiri dari lima orang. Mereka bergantian menjaga dalam periode dua minggu sekali. “Sebelum berangkat mereka sudah dibekali kebutuhan bahan makanan dan setiap bulan mendapat intensif Rp500 ribu,” ujarnya.
Dia juga memuji pegawainya, yang sejauh ini belum ada yang mundur saat ditugaskan ke pulau tanpa penduduk dan sinyal handphone tersebut. Meskipun mereka terkurung selama dua minggu di pulau tersebut, namun mereka tetap serius melakukan upaya konservasi penyu hijau tersebut.
Menurutnya penyu hijau dan habitatnya berupa gugusan pulau dan lautan lepas di tempat itu merupakan harta karun bagi Kabupaten Rokan Hilir. Mahkluk penyeimbang ekosistem yang masuk daftar merah sebagai spesies terancam punah menurut the International Union for Conservation of Nature (IUCN) tersebut patut dilestarikan. Apalagi menurut IUCN, binatang laut ini tercatat terancam punah sejak tahun 1982.
Untuk itu Wan menghimbau agar masyarakat Kabupaten Rokan Hilir ataupun nelayan di perairan itu dapat menjaga keberlangsungan penyu hijau. “Kalau ada yang terjaring di jaring nelayan, saya himbau untuk dilepas kembali. Mahluk ini sangat penting bagi penyimbang ekosistem. Ia juga menjadi daya tarik wisata bahari yang kini tengah dirintis oleh Pemda,” imbuhnya.
Semoga penyu hijau tidak punah dan pulau jemur tetap menjadi rumah yang nyaman bagi penyu hijau untuk singgah bertelur.***
Hari baru saja pukul 11.00 WIB. Langit yang tadi cerah, tiba-tiba mendadak menghitam. Angin kencang dan hujan lebat membuyarkan lamunan kami yang telah lelah melihat ombak dan lautan luas menuju Gugusan Pulau Arwah (Aruah) di Selat Melaka.
Gerakan beberapa awak speedboat yang kami tumpangi bergegas menutup jendela speedboat membuat kami dalam posisi waspada. Apalagi bulan Februari ini dalam laporan Badan Metereologi dan Geofisisika (BMG) dalam status waspada untuk melaut. Bupati Rokan Hilir Annas Maamum sebelum berangkat juga mengingatkan kami untuk mengurungkan niat melihat penangkaran penyu di sekitar Pulau Jemur bila melihat tanda-tanda cuaca buruk.
Namun untunglah, hujan lebat di Jumat (18/2) siang itu tak berlangsung lama. Speedboat kami yang berkekuatan 75 PK tetap melaju di antara rinai hujan. Langit juga kembali cerah saat kami memasuki kawasan Gugusan Pulau Aruah yang berbatu karang.
Gugusan Pulau Aruah merupakan gugusan pulau-pulau terluar Indonesia yang berada di Selat Melaka dan berbatasan langsung dengan Malaysia. Gusuan pulau ini terdiri dari sembilan pulau utama, yakni Tukongperak, Labuhanbilik, Tukongmas, Tukongsimbang, Batuberlayar, Sarangalang, Jemur, Batuadang, dan Batumandi.
Gugusan pulau yang kerap tak terlihat di peta ini, berjarak sekitar 45-50 mill dari Kota Bagansiapi-api, Ibu Kota Kabupaten Rokan Hilir. Berjarak sekitar 328 km dari Kota Pekanbaru, Ibu Kota Provinsi Riau. Sementara itu, dari Malaysia tepatnya Port Klang, gugusan pulau itu hanya berjarak 45 mill.
“Kemana kita mendarat? Ke pangkalan Angkatan Laut atau Pangkalan Perikanan?” ujar nahkoda speedboat.
Salah satu dari kami berujar, “Ke Pangkalan Perikanan”.
Speedboatpun melaju ke arah salah satu pulau. Yang belakangan kami ketahui bernama Labuhanbilik. Bisanya menjadi pulau tempat berlindung nelayan dari hantaman badai, karena bentuknya yang serupa bilik (kamar) luas berbatu karang.
Setelah mendekati pulau tempat pangkalan perikanan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Rokan Hilir ternyat kami tidak bisa merapat ke daratan. “Kita harus menunggu air pasang,” terang sang Nahkoda Kapal.
Speedboat kamipun terpaksa dirapatkan ke kapal-kapal nelayan yang berkumpul dan saling bergandengan tak jauh dari pulau. Agar speedboat kami tak terbawa gelombang.
Sesampai di dekat kapal itu, kami pun melihat aktivitas para nelayan ikan dan juga para pengumpul ikan. Ternyata di tengah laut itulah, transaksi jual beli ikan dilakukan. Dari kapal nelayan ke kapal pengumpul ikan yang ukurannya sekitar tiga kali lipat lebih besar dari kapal nelayan. Rata-rata para nelayan itu berasal dari Sumatera Utara, sementara kapal pengumpul ikannya berasal dari Tanjung Balai Asahan.
“Mungkin sekitar pukul 12 atau jam 1 nanti air pasang,” ujar Thalib (54), seorang nelayan di kapal nelayan tempat kami bertambat memberi keterangan.
Kami pun menunggu air pasang. Namun ketika waktu sudah merangkak satu jam ke depan kami dilanda bosan. Kami telah puas mondar-mandir dari kapal nelayan satu ke nelayan berikut. Melihat aktivitas jual beli ikan hingga ikut menyicipi ikan goreng yang baru dimasak para nelayan. Air laut memang sudah terlihat naik. Tapi belum cukup juga untuk membuat speedboat kami bisa bersandar.
Melihat kami yang telah gelisah, seseorang dari kapal pengumpul ikan, menawarkan kami untuk naik sekoci ke pulau tersebut. Melihat sekoci kecil, berukuran sekitar 2,5 meter dan lebar 75 cm itu, gamang juga perasaan kami. Beberapa orang tampak menurunkan benda-benda di atas sekoci agar bisa kami pakai. Melihat ada beberapa benda berat yang hendak diturunkan dan perasaan kami ragu-ragu untuk naik sekoci, akhirnya naik sekoci diurungkan.
Namun setelah menunggu seperempat jam kemudian dan kembali dilanda gelisah karena melihat air pasang begitu lambat, akhirnya kamipun bertekat naik sekoci. Beberapa orang dari kami masuk sekoci. Sekoci itu terombang-ambing. Tapi menurut para nelayan tidak apa-apa. Akhirnya, satu persatu kamipun masuk. Sampai jumlahnya tujuh orang. Kamipun harus duduk melantai dan menjaga keseimbangan. Takut sekoci itu terbalik. Apalagi yang kami khawatirkan adalah peralatan elektronik yang ada di tas kami.
Dengan perasaan was-was itu, sekoci kamipun tetap dikayuh ke arah pulau. Ternyata sekoci kami tidak diarahkan ke pantai berpasir di hadapan kami. Tetapi ke arah samping, tempat pantai berbatu karang yang berada di sampingnya. Mungkin untuk mengikuti arus, agar gampang mengayuhnya. Gesekan sokoci dan batu karang yang kami lalui, membuat perasaan kami kembali berdebar. Apalagi, saat hendak turun menginjakkan kaki ke batu karang pulau itu. Seseorang dari kami, Amri, yang duluan pernah ke pulau itu mengatakan ada ular batu berbisa yang sangat berbahaya yang bisa tiba-tiba muncul karang-karang itu. Itu sebabnya, kami harus melihat ke bawah dengan hati-hati saat melangkahkan kaki.
Untuk sampai ke pangkalan perikanan, kami harus berjalan memutari pulau. Di tempat itu kami melihat beberapa rumah. Semacam rumah RSS, namun terlihat tanpa penghuni. Di sebuah rumah agak di bagian depan pulau, belakangan kami ketahui menjadi markas bagi petugas dari Dinas Perikanan. Di tempat itu kami disambut Andi Suriyadi (33) dan kawan-kawan. Meskipun tanpa mengabari mereka sebelumnya. Karena memang tidak ada cara untuk mengabari mereka. Disitu tidak ada sinyal handphone.
“Walaupun tanpa kabar, tetap kami sambut,” ujar Andi kepada kami.
Setelah berbincang sejenak, Andi dan beberapa rekannya membawa kami ke sebuah bangunan sederhana tepat berada belakang rumah mereka. Tempat itu, merupakan tempat penangkaran penyu. Ada beberapa bak fiber berwarna biru yang kami temukan di tempat itu dengan berbagai model. Ada yang bulat dan ada yang persegi panjang. Dari beberapa bak fiber itu terlihat hanya tiga yang berisi tukik. Masing-masing bak sepertinya memuat ratusan tukik yang berbeda ukuran. Menurut Andi, tukik itu ada yang berumur beberapa minggu hingga dua bulan. Tukik-tukik itu, tambahnya, sengaja dipisahkan sesuai umur tukik. Terkadang juga dipisahkan berdasarkan ukuran badan. Pasalnya jika yang besar dan kecil digabung, yang besar bisa memakan tukik yang lebih kecil.
Berbincang dengan Andi tentang pemeliharaan tukik-tukik tersebut, ternyata bukan persoalan mudah. Petugas yang merawatnya harus memiliki tingkat ketelatenan yang cukup tinggi. Setiap dua hari sekali mereka harus mengambil air laut untuk mengisi bak. Air bak harus selalu jernih. Jika tidak, tukik tersebut akan mati.
Selain itu, mereka juga harus telaten memberi makan. Makan tukik diberikan pada pagi dan sore hari. Pakannya berupa pelet ataupun ikan. Namun ikan yang diberikan bukanlah ikan hidup. Tetapi sudah berupa potongan kecil-kecil daging ikan. Potongan ikan itu juga harus dipastikan bebas dari tulang ikan.
“Jika kami lalai memberikan makan untuk tukik-tukik itu, maka mereka akan saling bunuh. Mereka makhluk kanibal dan bisa saling makan. Itu sebabnya sekarang yang bertugas memelihara tukik diseleksi. Tidak bisa asal-asalan,” ujar Andi yang ikut menjadi tim penyeleksi mengingat beberapa waktu sebelumnya kerap tukik ditemukan mati karena terlambat diberi makan.
Untuk pemenuhan ikan bagi pakan tukik tersebut, menurut Andi, kerap disumbangkan oleh para nelayan. Biasanya dua hari sekali, para nelayan mengantarkan ikan.
Dipulau yang belum berpenduduk itu, Andi dan teman-temannya di perikanan bergantian untuk memelihara tukik tersebut. Setiap dua pekan sekali, mereka ganti ship. Satu ship terdiri dari lima orang. Beberapa bertugas mengawas untuk urusan kelautan dan perikanan sementara sisanya mengurus penangkaran.
“Biasanya kami merawat tukik-tukik ini hingga umur 4-5 bulan. Biasanya sudah selebar mangkok bakso, baru dilepas,” ujarnya sembari menyebutkan bulan Mei lalu mereka telah melepas sekitar 500-an anak penyu.
Untuk menangkarkan penyu tersebut, menurut Andi, tidak dilakukan terus menerus. Ada masa off-nya, karena mengikuti penanggaran di Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). “Kalau anggaran sudah ketuk palu, barulah program ini di jalankan kembali. Jadi tidak setiap saat penangkaran ini ada,” ujarnya.
Andi juga menyebutkan bahwa mereka tidak melakukan proses penangkaran sendiri. Namun bekerja sama dengan petugas di Pos Pangkalan TNI AL dan Navigasi yang berada di Pulau Jemur. “Penetasan telur penyu memerlukan perlakuan tersendiri dan hanya bisa ditetaskan dengan pasir di tempat penyu bertelur. Jadi kami di sini, hanya membesarkan tukik dari hasil penetasan dari petugas TNI AL dan Navigasi,” cerita Andi.
Usai melihat penangkaran penyu di Pulau Labuhanbilik tersebut, perjalanan kami pun di lanjutkan ke Pulau Jemur, tempat Pangkalan TNI AL dan Navigasi. Hanya butuh waktu sekitar 10 menit untuk sampai ke pulau tersebut dengan speedboat. Sayangnya saat kami berkunjung belum ada telur yang dalam proses pengeraman. “Ini belum musimnya penyu bertelur. Dalam beberapa hari, mungkin hanya satu penyu yang mendarat untuk bertelur,” ungkap Muslik, petugas dari TNI AL yang kami temui di pangkalan TNI AL.
Muslik kemudian memberikan informasi bahwa penyu kerap bertelur bukan di pulau tempat mereka itu. Tetapi pulau yang berada di depan mereka. Pulau kecil berpasir tanpa penduduk ataupun petugas. “Penyu tidak akan bertelur di pulau yang ada suara manusia ataupun cahaya,” ujarnya.
Dia kemudian menunjukkan sebuah bak batu besar yang bisa ditemui sebelum naik ke pos mereka yang berada di atas bukit. “Bak ini dulu, yang kita jadikan tempat penangkaran,” ujarnya.
***
Bila melihat upaya penangkaran penyu hijau di pulau terluar Indonesia itu, orang mungkin tidak akan lupa dengan Sopyan Hadi. Pria yang pernah mendapatkan penghargaan Setia Lestari Bumi dan Kehati Award itu, adalah perintis kegiatan konservasi penyu hijau di pulau tersebut.
Upaya konservasi di tempat itu, di awali dari perjalanannya ke Pulau Jemur sekitar tahun 2001 untuk melihat induk penyu hijau yang bertelur. Untuk sampai ke pulau itu, pria kelahiran Pekanbaru, 30 Agustus 1975 itu menumpang perahu nelayan dengan waktu tempuh sekitar enam jam perjalan dari Kota Bagansiapi-api.
Dari situlah Sopyan jatuh prihatin dengan nasib penyu hijau yang terus diburu. Terutama telur-telurnya. “Telur penyu di Pulau Jemur telah lama dieksploitasi. Bahkan sejak zaman kerajaan dulu. Telur-telur penyu kerap dijadikan upeti bagi sang raja. Sementara saat ini banyak diperjual belikan untuk konsumsi manusia. Telur penyu ini punya nilai ekonomis cukup tinggi. Harga persatuannya berkisar Rp2.500,” paparnya, Rabu (23/2) lalu.
Padahal untuk dapat bertelur, umur penyu sudah harus diatas delapan sampai sepuluh tahun. Ditambah lagi persoalan telur-telur yang masih tersisa belum tentu bisa menetas. Dari ratusan telur yang dihasilkan penyu sekali bertelur, namun paling-paling yang bisa menetas hanya beberapa ekor.
Setelah menetas menjadi tukik pun, tambahnya, belum tentu juga dapat hidup. Mengingat saat menuju laut ataupun sampai di luat mereka kerap menjadi buruan predatornya. Seperti burung camar, gagak, elang sampai ikan moray, belut dan kerapu.
Kondisi itulah yang kemudian mendorong Sopyan untuk melakukan penangkaran. Meskipun menurutnya itu tidak mudah dijalankan. Iapun harus mendekati nelayan dan juga petugas yang kerap mengambil dan menjual telur-telur itu untuk tidak mengeksploitasi semua telur penyu. “Kalau yang sudah penyek ataupun terkena air tawar (hujan) kemungkinan tidak akan berhasil jadi tukik. Nah, kalau itu bisa dimanfaatkan. Jadi tidak bisa mereka disuruh serta merta berhenti. Tetapi harus dipilah-pilah,” jelasnya.
Selanjutnya, Sopyan menuturkan upaya konservasi ditempat itu dimulai dengan membantu pengeraman telur agar bisa menetas lebih banyak. Kalau ayam bisa ditetaskan dengan bantuan lampu, maka dia pun berpikir untuk melakukan hal serupa. Namun karena keterbatasan listrik di tempat itu, membuat dia berpikir lagi mencari cara yang lebih efektif. Terpikirlah untuk memanaskan telur-telur itu dengan pasir.
Pasir it digongseng, lalu dimasukkan ke dalam bak fiber. Lalu telur-telur dimasukkan dengan menyusunnya seperti obat nyamuk. Barulah pasir tadi dimasukkan lagi. Disimpan di gudang minyak TNI AL. Ternyata upayanya itu berhasil. Hampir 85 persen telur yang dieramkan dengan cara itu menetas. Puluhan bahkan ribuan tukik pun berhasil lahir.
Sofyan pun memaparkan keberhasilan itu ke almamaternya. Unri kemudian membantu penyedian bak fiber tambahan. Seiring dengan itu, dia pun berhasil lulus sebagai pegawai negeri sipil di Rokan Hilir dan sempat menjadi ajudan bupati. Hal itu membuatnya mendapatkan kesempatan untuk menceritakan tentang aktivitasnya dan tukik-tukik yang siap berenang di laut itu. Akhirnya, perjauangannya yang dimulai tahun 2002 tersebut disambut oleh Pemerintah Daerah Rokan Hilir.
Menurut Wan Rusli, Kadis Perikanan dan Kelautan Rokan Hilir, Rabu (32/2), Pemda khususnya instansi yang dipimpinnya telah memulai program penangkaran penyu itu sejak tahun 2006 lalu. Setiap tahun mereka menargetkan 5-10 ribu tukik yang bisa ditangkarkan dan akhirnya bisa dilepas ke laut. “Setiap tahun itu dianggarkan di APBD. Nilainya sekitar 40 juta,” ungkap Wan kepada Riau Pos.
Untuk penangkaran tukik-tukik tersebut, instansinya memanfaatkan pegawai Dinas Perikanan, baik pegawai negeri maupun tenaga honor. “Ada sekitar 20 orang yang kami tugaskan di Pulau Jemur. Selain mengawasi perikanan dan kelautan di Pulau Jemur, beberapa di antara mereka ditugaskan untuk penangkaran penyu,” ujarnya.
Petugas yang 20 orang itu, menurutnya terbagi dalam empat kelompok. Satu kelompok terdiri dari lima orang. Mereka bergantian menjaga dalam periode dua minggu sekali. “Sebelum berangkat mereka sudah dibekali kebutuhan bahan makanan dan setiap bulan mendapat intensif Rp500 ribu,” ujarnya.
Dia juga memuji pegawainya, yang sejauh ini belum ada yang mundur saat ditugaskan ke pulau tanpa penduduk dan sinyal handphone tersebut. Meskipun mereka terkurung selama dua minggu di pulau tersebut, namun mereka tetap serius melakukan upaya konservasi penyu hijau tersebut.
Menurutnya penyu hijau dan habitatnya berupa gugusan pulau dan lautan lepas di tempat itu merupakan harta karun bagi Kabupaten Rokan Hilir. Mahkluk penyeimbang ekosistem yang masuk daftar merah sebagai spesies terancam punah menurut the International Union for Conservation of Nature (IUCN) tersebut patut dilestarikan. Apalagi menurut IUCN, binatang laut ini tercatat terancam punah sejak tahun 1982.
Untuk itu Wan menghimbau agar masyarakat Kabupaten Rokan Hilir ataupun nelayan di perairan itu dapat menjaga keberlangsungan penyu hijau. “Kalau ada yang terjaring di jaring nelayan, saya himbau untuk dilepas kembali. Mahluk ini sangat penting bagi penyimbang ekosistem. Ia juga menjadi daya tarik wisata bahari yang kini tengah dirintis oleh Pemda,” imbuhnya.
Semoga penyu hijau tidak punah dan pulau jemur tetap menjadi rumah yang nyaman bagi penyu hijau untuk singgah bertelur.***
maka mereka akan saling bunuh. Mereka makhluk kanibal dan bisa saling makan. Itu sebabnya sekarang yang bertugas memelihara tukik diseleksi. Tidak bisa asal-asalan,” ujar Andi yang ikut menjadi tim penyeleksi mengingat beberapa waktu sebelumnya kerap tukik ditemukan mati karena terlambat diberi makan.
Untuk pemenuhan ikan bagi pakan tukik tersebut, menurut Andi, kerap disumbangkan oleh para nelayan. Biasanya dua hari sekali, para nelayan mengantarkan ikan.
Di pulau yang belum berpenduduk itu, Andi dan teman-temannya di Dinas Perikanan bergantian untuk memelihara tukik tersebut. Setiap dua pekan sekali, mereka ganti shift. Satu shift terdiri dari lima orang. Beberapa bertugas mengawas untuk urusan kelautan dan perikanan sementara sisanya mengurus penangkaran.
“Biasanya kami merawat tukik-tukik ini hingga umur 4-5 bulan. Kalau sudah selebar mangkok bakso, baru dilepas,” ujarnya sembari menyebutkan bulan Mei lalu mereka telah melepas sekitar 500-an anak penyu.
Untuk menangkarkan penyu tersebut, menurut Andi, tidak dilakukan terus menerus. Ada masa off-nya, karena mengikuti penanggaran di Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). “Kalau anggaran sudah ketuk palu, barulah program ini di jalankan kembali. Jadi tidak setiap saat penangkaran ini ada,” ujarnya.
Andi juga menyebutkan bahwa mereka tidak melakukan proses penangkaran sendiri. Namun bekerja sama dengan petugas di Pos Pangkalan TNI AL dan Navigasi yang berada di Pulau Jemur. “Penetasan telur penyu memerlukan perlakuan tersendiri dan hanya bisa ditetaskan dengan pasir di tempat penyu bertelur. Jadi kami di sini, hanya membesarkan tukik dari hasil penetasan dari petugas TNI AL dan Navigasi,” cerita Andi.
Usai melihat penangkaran penyu di Pulau Labuhanbilik tersebut, perjalanan kami pun di lanjutkan ke Pulau Jemur, tempat Pangkalan TNI AL dan Navigasi. Hanya butuh waktu sekitar 10 menit untuk sampai ke pulau tersebut dengan speedboat. Sayangnya saat kami berkunjung belum ada telur yang dalam proses pengeraman. “Ini belum musimnya penyu bertelur. Dalam beberapa hari, mungkin hanya satu penyu yang mendarat untuk bertelur,” ungkap Muslik, petugas dari TNI AL yang kami temui di pangkalan TNI AL.
Muslik kemudian memberikan informasi bahwa penyu kerap bertelur bukan di pulau tempat mereka itu. Tetapi pulau yang berada di depan mereka. Pulau kecil berpasir tanpa penduduk ataupun petugas. “Penyu tidak akan bertelur di pulau yang ada suara manusia ataupun cahaya,” ujarnya.
Dia kemudian menunjukkan sebuah bak batu besar yang bisa ditemui sebelum naik ke pos mereka yang berada di atas bukit. “Bak ini dulu, yang kita jadikan tempat penangkaran,” ujarnya.
***
Bila melihat upaya penangkaran penyu hijau di pulau terluar Indonesia itu, orang mungkin tidak akan lupa dengan Sopyan Hadi. Pria yang pernah mendapatkan penghargaan Setia Lestari Bumi dan Kehati Award itu, adalah perintis kegiatan konservasi penyu hijau di pulau tersebut.
Upaya konservasi di tempat itu, di awali dari perjalanannya ke Pulau Jemur sekitar tahun 2001 untuk melihat induk penyu hijau yang bertelur. Untuk sampai ke pulau itu, pria kelahiran Pekanbaru, 30 Agustus 1975 itu menumpang perahu nelayan dengan waktu tempuh sekitar enam jam perjalan dari Kota Bagansiapi-api.
Dari situlah Sopyan jatuh prihatin dengan nasib penyu hijau yang terus diburu. Terutama telur-telurnya. “Telur penyu di Pulau Jemur telah lama dieksploitasi. Bahkan sejak zaman kerajaan dulu. Telur-telur penyu kerap dijadikan upeti bagi sang raja. Sementara saat ini banyak diperjual belikan untuk konsumsi manusia. Telur penyu ini punya nilai ekonomis cukup tinggi. Harga persatuannya berkisar Rp2.500,” paparnya, Rabu (23/2) lalu.
Padahal untuk dapat bertelur, umur penyu sudah harus diatas delapan sampai sepuluh tahun. Ditambah lagi persoalan telur-telur yang masih tersisa belum tentu bisa menetas. Dari ratusan telur yang dihasilkan penyu sekali bertelur, namun paling-paling yang bisa menetas hanya beberapa ekor.
Setelah menetas menjadi tukik pun, tambahnya, belum tentu juga dapat hidup. Mengingat saat menuju laut ataupun sampai di luat mereka kerap menjadi buruan predatornya. Seperti burung camar, gagak, elang sampai ikan moray, belut dan kerapu.
Kondisi itulah yang kemudian mendorong Sopyan untuk melakukan penangkaran. Meskipun menurutnya itu tidak mudah dijalankan. Iapun harus mendekati nelayan dan juga petugas yang kerap mengambil dan menjual telur-telur itu untuk tidak mengeksploitasi semua telur penyu. “Kalau yang sudah penyek ataupun terkena air tawar (hujan) kemungkinan tidak akan berhasil jadi tukik. Nah, kalau itu bisa dimanfaatkan. Jadi tidak bisa mereka disuruh serta merta berhenti. Tetapi harus dipilah-pilah,” jelasnya.
Selanjutnya, Sopyan menuturkan upaya konservasi ditempat itu dimulai dengan membantu pengeraman telur agar bisa menetas lebih banyak. Kalau ayam bisa ditetaskan dengan bantuan lampu, maka dia pun berpikir untuk melakukan hal serupa. Namun karena keterbatasan listrik di tempat itu, membuat dia berpikir lagi mencari cara yang lebih efektif. Terpikirlah untuk memanaskan telur-telur itu dengan pasir.
Pasir it digongseng, lalu dimasukkan ke dalam bak fiber. Lalu telur-telur dimasukkan dengan menyusunnya seperti obat nyamuk. Barulah pasir tadi dimasukkan lagi. Disimpan di gudang minyak TNI AL. Ternyata upayanya itu berhasil. Hampir 85 persen telur yang dieramkan dengan cara itu menetas. Puluhan bahkan ribuan tukik pun berhasil lahir.
Sopyan- pun memaparkan keberhasilan itu ke almamaternya. Unri kemudian membantu penyedian bak fiber tambahan. Seiring dengan itu, dia pun berhasil lulus sebagai pegawai negeri sipil di Rokan Hilir dan sempat menjadi ajudan bupati. Hal itu membuatnya mendapatkan kesempatan untuk menceritakan tentang aktivitasnya dan tukik-tukik yang siap berenang di laut itu. Akhirnya, perjauangannya yang dimulai tahun 2002 tersebut disambut oleh Pemerintah Daerah Rokan Hilir.
Menurut Wan Rusli, Kadis Perikanan dan Kelautan Rokan Hilir, Rabu (32/2), Pemda khususnya instansi yang dipimpinnya telah memulai program penangkaran penyu itu sejak tahun 2006 lalu. Setiap tahun mereka menargetkan 5-10 ribu tukik yang bisa ditangkarkan dan akhirnya bisa dilepas ke laut. “Setiap tahun itu dianggarkan di APBD. Nilainya sekitar 40 juta,” ungkap Wan kepada Riau Pos.
Untuk penangkaran tukik-tukik tersebut, instansinya memanfaatkan pegawai Dinas Perikanan, baik pegawai negeri maupun tenaga honor. “Ada sekitar 20 orang yang kami tugaskan di Pulau Jemur. Selain mengawasi perikanan dan kelautan di Pulau Jemur, beberapa di antara mereka ditugaskan untuk penangkaran penyu,” ujarnya.
Petugas yang 20 orang itu, menurutnya terbagi dalam empat kelompok. Satu kelompok terdiri dari lima orang. Mereka bergantian menjaga dalam periode dua minggu sekali. “Sebelum berangkat mereka sudah dibekali kebutuhan bahan makanan dan setiap bulan mendapat intensif Rp500 ribu,” ujarnya.
Dia juga memuji pegawainya, yang sejauh ini belum ada yang mundur saat ditugaskan ke pulau tanpa penduduk dan sinyal handphone tersebut. Meskipun mereka terkurung selama dua minggu di pulau tersebut, namun mereka tetap serius melakukan upaya konservasi penyu hijau tersebut.
Menurutnya penyu hijau dan habitatnya berupa gugusan pulau dan lautan lepas di tempat itu merupakan harta karun bagi Kabupaten Rokan Hilir. Mahkluk penyeimbang ekosistem yang masuk daftar merah sebagai spesies terancam punah menurut the International Union for Conservation of Nature (IUCN) tersebut patut dilestarikan. Apalagi menurut IUCN, binatang laut ini tercatat terancam punah sejak tahun 1982.
Untuk itu Wan menghimbau agar masyarakat Kabupaten Rokan Hilir ataupun nelayan di perairan itu dapat menjaga keberlangsungan penyu hijau. “Kalau ada yang terjaring di jaring nelayan, saya himbau untuk dilepas kembali. Mahluk ini sangat penting bagi penyimbang ekosistem. Ia juga menjadi daya tarik wisata bahari yang kini tengah dirintis oleh Pemda,” imbuhnya.
Semoga penyu hijau tidak punah dan pulau jemur tetap menjadi rumah yang nyaman bagi penyu hijau untuk singgah bertelur.***
maka mereka akan saling bunuh. Mereka makhluk kanibal dan bisa saling makan. Itu sebabnya sekarang yang bertugas memelihara tukik diseleksi. Tidak bisa asal-asalan,” ujar Andi yang ikut menjadi tim penyeleksi mengingat beberapa waktu sebelumnya kerap tukik ditemukan mati karena terlambat diberi makan.
Untuk pemenuhan ikan bagi pakan tukik tersebut, menurut Andi, kerap disumbangkan oleh para nelayan. Biasanya dua hari sekali, para nelayan mengantarkan ikan.
Di pulau yang belum berpenduduk itu, Andi dan teman-temannya di Dinas Perikanan bergantian untuk memelihara tukik tersebut. Setiap dua pekan sekali, mereka ganti shift. Satu shift terdiri dari lima orang. Beberapa bertugas mengawas untuk urusan kelautan dan perikanan sementara sisanya mengurus penangkaran.
“Biasanya kami merawat tukik-tukik ini hingga umur 4-5 bulan. Kalau sudah selebar mangkok bakso, baru dilepas,” ujarnya sembari menyebutkan bulan Mei lalu mereka telah melepas sekitar 500-an anak penyu.
Untuk menangkarkan penyu tersebut, menurut Andi, tidak dilakukan terus menerus. Ada masa off-nya, karena mengikuti penanggaran di Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). “Kalau anggaran sudah ketuk palu, barulah program ini di jalankan kembali. Jadi tidak setiap saat penangkaran ini ada,” ujarnya.
Andi juga menyebutkan bahwa mereka tidak melakukan proses penangkaran sendiri. Namun bekerja sama dengan petugas di Pos Pangkalan TNI AL dan Navigasi yang berada di Pulau Jemur. “Penetasan telur penyu memerlukan perlakuan tersendiri dan hanya bisa ditetaskan dengan pasir di tempat penyu bertelur. Jadi kami di sini, hanya membesarkan tukik dari hasil penetasan dari petugas TNI AL dan Navigasi,” cerita Andi.
Usai melihat penangkaran penyu di Pulau Labuhanbilik tersebut, perjalanan kami pun di lanjutkan ke Pulau Jemur, tempat Pangkalan TNI AL dan Navigasi. Hanya butuh waktu sekitar 10 menit untuk sampai ke pulau tersebut dengan speedboat. Sayangnya saat kami berkunjung belum ada telur yang dalam proses pengeraman. “Ini belum musimnya penyu bertelur. Dalam beberapa hari, mungkin hanya satu penyu yang mendarat untuk bertelur,” ungkap Muslik, petugas dari TNI AL yang kami temui di pangkalan TNI AL.
Muslik kemudian memberikan informasi bahwa penyu kerap bertelur bukan di pulau tempat mereka itu. Tetapi pulau yang berada di depan mereka. Pulau kecil berpasir tanpa penduduk ataupun petugas. “Penyu tidak akan bertelur di pulau yang ada suara manusia ataupun cahaya,” ujarnya.
Dia kemudian menunjukkan sebuah bak batu besar yang bisa ditemui sebelum naik ke pos mereka yang berada di atas bukit. “Bak ini dulu, yang kita jadikan tempat penangkaran,” ujarnya.
***
Bila melihat upaya penangkaran penyu hijau di pulau terluar Indonesia itu, orang mungkin tidak akan lupa dengan Sopyan Hadi. Pria yang pernah mendapatkan penghargaan Setia Lestari Bumi dan Kehati Award itu, adalah perintis kegiatan konservasi penyu hijau di pulau tersebut.
Upaya konservasi di tempat itu, di awali dari perjalanannya ke Pulau Jemur sekitar tahun 2001 untuk melihat induk penyu hijau yang bertelur. Untuk sampai ke pulau itu, pria kelahiran Pekanbaru, 30 Agustus 1975 itu menumpang perahu nelayan dengan waktu tempuh sekitar enam jam perjalan dari Kota Bagansiapi-api.
Dari situlah Sopyan jatuh prihatin dengan nasib penyu hijau yang terus diburu. Terutama telur-telurnya. “Telur penyu di Pulau Jemur telah lama dieksploitasi. Bahkan sejak zaman kerajaan dulu. Telur-telur penyu kerap dijadikan upeti bagi sang raja. Sementara saat ini banyak diperjual belikan untuk konsumsi manusia. Telur penyu ini punya nilai ekonomis cukup tinggi. Harga persatuannya berkisar Rp2.500,” paparnya, Rabu (23/2) lalu.
Padahal untuk dapat bertelur, umur penyu sudah harus diatas delapan sampai sepuluh tahun. Ditambah lagi persoalan telur-telur yang masih tersisa belum tentu bisa menetas. Dari ratusan telur yang dihasilkan penyu sekali bertelur, namun paling-paling yang bisa menetas hanya beberapa ekor.
Setelah menetas menjadi tukik pun, tambahnya, belum tentu juga dapat hidup. Mengingat saat menuju laut ataupun sampai di luat mereka kerap menjadi buruan predatornya. Seperti burung camar, gagak, elang sampai ikan moray, belut dan kerapu.
Kondisi itulah yang kemudian mendorong Sopyan untuk melakukan penangkaran. Meskipun menurutnya itu tidak mudah dijalankan. Iapun harus mendekati nelayan dan juga petugas yang kerap mengambil dan menjual telur-telur itu untuk tidak mengeksploitasi semua telur penyu. “Kalau yang sudah penyek ataupun terkena air tawar (hujan) kemungkinan tidak akan berhasil jadi tukik. Nah, kalau itu bisa dimanfaatkan. Jadi tidak bisa mereka disuruh serta merta berhenti. Tetapi harus dipilah-pilah,” jelasnya.
Selanjutnya, Sopyan menuturkan upaya konservasi ditempat itu dimulai dengan membantu pengeraman telur agar bisa menetas lebih banyak. Kalau ayam bisa ditetaskan dengan bantuan lampu, maka dia pun berpikir untuk melakukan hal serupa. Namun karena keterbatasan listrik di tempat itu, membuat dia berpikir lagi mencari cara yang lebih efektif. Terpikirlah untuk memanaskan telur-telur itu dengan pasir.
Pasir it digongseng, lalu dimasukkan ke dalam bak fiber. Lalu telur-telur dimasukkan dengan menyusunnya seperti obat nyamuk. Barulah pasir tadi dimasukkan lagi. Disimpan di gudang minyak TNI AL. Ternyata upayanya itu berhasil. Hampir 85 persen telur yang dieramkan dengan cara itu menetas. Puluhan bahkan ribuan tukik pun berhasil lahir.
Sopyan- pun memaparkan keberhasilan itu ke almamaternya. Unri kemudian membantu penyedian bak fiber tambahan. Seiring dengan itu, dia pun berhasil lulus sebagai pegawai negeri sipil di Rokan Hilir dan sempat menjadi ajudan bupati. Hal itu membuatnya mendapatkan kesempatan untuk menceritakan tentang aktivitasnya dan tukik-tukik yang siap berenang di laut itu. Akhirnya, perjauangannya yang dimulai tahun 2002 tersebut disambut oleh Pemerintah Daerah Rokan Hilir.
Menurut Wan Rusli, Kadis Perikanan dan Kelautan Rokan Hilir, Rabu (32/2), Pemda khususnya instansi yang dipimpinnya telah memulai program penangkaran penyu itu sejak tahun 2006 lalu. Setiap tahun mereka menargetkan 5-10 ribu tukik yang bisa ditangkarkan dan akhirnya bisa dilepas ke laut. “Setiap tahun itu dianggarkan di APBD. Nilainya sekitar 40 juta,” ungkap Wan kepada Riau Pos.
Untuk penangkaran tukik-tukik tersebut, instansinya memanfaatkan pegawai Dinas Perikanan, baik pegawai negeri maupun tenaga honor. “Ada sekitar 20 orang yang kami tugaskan di Pulau Jemur. Selain mengawasi perikanan dan kelautan di Pulau Jemur, beberapa di antara mereka ditugaskan untuk penangkaran penyu,” ujarnya.
Petugas yang 20 orang itu, menurutnya terbagi dalam empat kelompok. Satu kelompok terdiri dari lima orang. Mereka bergantian menjaga dalam periode dua minggu sekali. “Sebelum berangkat mereka sudah dibekali kebutuhan bahan makanan dan setiap bulan mendapat intensif Rp500 ribu,” ujarnya.
Dia juga memuji pegawainya, yang sejauh ini belum ada yang mundur saat ditugaskan ke pulau tanpa penduduk dan sinyal handphone tersebut. Meskipun mereka terkurung selama dua minggu di pulau tersebut, namun mereka tetap serius melakukan upaya konservasi penyu hijau tersebut.
Menurutnya penyu hijau dan habitatnya berupa gugusan pulau dan lautan lepas di tempat itu merupakan harta karun bagi Kabupaten Rokan Hilir. Mahkluk penyeimbang ekosistem yang masuk daftar merah sebagai spesies terancam punah menurut the International Union for Conservation of Nature (IUCN) tersebut patut dilestarikan. Apalagi menurut IUCN, binatang laut ini tercatat terancam punah sejak tahun 1982.
Untuk itu Wan menghimbau agar masyarakat Kabupaten Rokan Hilir ataupun nelayan di perairan itu dapat menjaga keberlangsungan penyu hijau. “Kalau ada yang terjaring di jaring nelayan, saya himbau untuk dilepas kembali. Mahluk ini sangat penting bagi penyimbang ekosistem. Ia juga menjadi daya tarik wisata bahari yang kini tengah dirintis oleh Pemda,” imbuhnya.
Semoga penyu hijau tidak punah dan pulau jemur tetap menjadi rumah yang nyaman bagi penyu hijau untuk singgah bertelur.***
Untuk pemenuhan ikan bagi pakan tukik tersebut, menurut Andi, kerap disumbangkan oleh para nelayan. Biasanya dua hari sekali, para nelayan mengantarkan ikan.
Di pulau yang belum berpenduduk itu, Andi dan teman-temannya di Dinas Perikanan bergantian untuk memelihara tukik tersebut. Setiap dua pekan sekali, mereka ganti shift. Satu shift terdiri dari lima orang. Beberapa bertugas mengawas untuk urusan kelautan dan perikanan sementara sisanya mengurus penangkaran.
“Biasanya kami merawat tukik-tukik ini hingga umur 4-5 bulan. Kalau sudah selebar mangkok bakso, baru dilepas,” ujarnya sembari menyebutkan bulan Mei lalu mereka telah melepas sekitar 500-an anak penyu.
Untuk menangkarkan penyu tersebut, menurut Andi, tidak dilakukan terus menerus. Ada masa off-nya, karena mengikuti penanggaran di Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). “Kalau anggaran sudah ketuk palu, barulah program ini di jalankan kembali. Jadi tidak setiap saat penangkaran ini ada,” ujarnya.
Andi juga menyebutkan bahwa mereka tidak melakukan proses penangkaran sendiri. Namun bekerja sama dengan petugas di Pos Pangkalan TNI AL dan Navigasi yang berada di Pulau Jemur. “Penetasan telur penyu memerlukan perlakuan tersendiri dan hanya bisa ditetaskan dengan pasir di tempat penyu bertelur. Jadi kami di sini, hanya membesarkan tukik dari hasil penetasan dari petugas TNI AL dan Navigasi,” cerita Andi.
Usai melihat penangkaran penyu di Pulau Labuhanbilik tersebut, perjalanan kami pun di lanjutkan ke Pulau Jemur, tempat Pangkalan TNI AL dan Navigasi. Hanya butuh waktu sekitar 10 menit untuk sampai ke pulau tersebut dengan speedboat. Sayangnya saat kami berkunjung belum ada telur yang dalam proses pengeraman. “Ini belum musimnya penyu bertelur. Dalam beberapa hari, mungkin hanya satu penyu yang mendarat untuk bertelur,” ungkap Muslik, petugas dari TNI AL yang kami temui di pangkalan TNI AL.
Muslik kemudian memberikan informasi bahwa penyu kerap bertelur bukan di pulau tempat mereka itu. Tetapi pulau yang berada di depan mereka. Pulau kecil berpasir tanpa penduduk ataupun petugas. “Penyu tidak akan bertelur di pulau yang ada suara manusia ataupun cahaya,” ujarnya.
Dia kemudian menunjukkan sebuah bak batu besar yang bisa ditemui sebelum naik ke pos mereka yang berada di atas bukit. “Bak ini dulu, yang kita jadikan tempat penangkaran,” ujarnya.
***
Bila melihat upaya penangkaran penyu hijau di pulau terluar Indonesia itu, orang mungkin tidak akan lupa dengan Sopyan Hadi. Pria yang pernah mendapatkan penghargaan Setia Lestari Bumi dan Kehati Award itu, adalah perintis kegiatan konservasi penyu hijau di pulau tersebut.
Upaya konservasi di tempat itu, di awali dari perjalanannya ke Pulau Jemur sekitar tahun 2001 untuk melihat induk penyu hijau yang bertelur. Untuk sampai ke pulau itu, pria kelahiran Pekanbaru, 30 Agustus 1975 itu menumpang perahu nelayan dengan waktu tempuh sekitar enam jam perjalan dari Kota Bagansiapi-api.
Dari situlah Sopyan jatuh prihatin dengan nasib penyu hijau yang terus diburu. Terutama telur-telurnya. “Telur penyu di Pulau Jemur telah lama dieksploitasi. Bahkan sejak zaman kerajaan dulu. Telur-telur penyu kerap dijadikan upeti bagi sang raja. Sementara saat ini banyak diperjual belikan untuk konsumsi manusia. Telur penyu ini punya nilai ekonomis cukup tinggi. Harga persatuannya berkisar Rp2.500,” paparnya, Rabu (23/2) lalu.
Padahal untuk dapat bertelur, umur penyu sudah harus diatas delapan sampai sepuluh tahun. Ditambah lagi persoalan telur-telur yang masih tersisa belum tentu bisa menetas. Dari ratusan telur yang dihasilkan penyu sekali bertelur, namun paling-paling yang bisa menetas hanya beberapa ekor.
Setelah menetas menjadi tukik pun, tambahnya, belum tentu juga dapat hidup. Mengingat saat menuju laut ataupun sampai di luat mereka kerap menjadi buruan predatornya. Seperti burung camar, gagak, elang sampai ikan moray, belut dan kerapu.
Kondisi itulah yang kemudian mendorong Sopyan untuk melakukan penangkaran. Meskipun menurutnya itu tidak mudah dijalankan. Iapun harus mendekati nelayan dan juga petugas yang kerap mengambil dan menjual telur-telur itu untuk tidak mengeksploitasi semua telur penyu. “Kalau yang sudah penyek ataupun terkena air tawar (hujan) kemungkinan tidak akan berhasil jadi tukik. Nah, kalau itu bisa dimanfaatkan. Jadi tidak bisa mereka disuruh serta merta berhenti. Tetapi harus dipilah-pilah,” jelasnya.
Selanjutnya, Sopyan menuturkan upaya konservasi ditempat itu dimulai dengan membantu pengeraman telur agar bisa menetas lebih banyak. Kalau ayam bisa ditetaskan dengan bantuan lampu, maka dia pun berpikir untuk melakukan hal serupa. Namun karena keterbatasan listrik di tempat itu, membuat dia berpikir lagi mencari cara yang lebih efektif. Terpikirlah untuk memanaskan telur-telur itu dengan pasir.
Pasir it digongseng, lalu dimasukkan ke dalam bak fiber. Lalu telur-telur dimasukkan dengan menyusunnya seperti obat nyamuk. Barulah pasir tadi dimasukkan lagi. Disimpan di gudang minyak TNI AL. Ternyata upayanya itu berhasil. Hampir 85 persen telur yang dieramkan dengan cara itu menetas. Puluhan bahkan ribuan tukik pun berhasil lahir.
Sopyan- pun memaparkan keberhasilan itu ke almamaternya. Unri kemudian membantu penyedian bak fiber tambahan. Seiring dengan itu, dia pun berhasil lulus sebagai pegawai negeri sipil di Rokan Hilir dan sempat menjadi ajudan bupati. Hal itu membuatnya mendapatkan kesempatan untuk menceritakan tentang aktivitasnya dan tukik-tukik yang siap berenang di laut itu. Akhirnya, perjauangannya yang dimulai tahun 2002 tersebut disambut oleh Pemerintah Daerah Rokan Hilir.
Menurut Wan Rusli, Kadis Perikanan dan Kelautan Rokan Hilir, Rabu (32/2), Pemda khususnya instansi yang dipimpinnya telah memulai program penangkaran penyu itu sejak tahun 2006 lalu. Setiap tahun mereka menargetkan 5-10 ribu tukik yang bisa ditangkarkan dan akhirnya bisa dilepas ke laut. “Setiap tahun itu dianggarkan di APBD. Nilainya sekitar 40 juta,” ungkap Wan kepada Riau Pos.
Untuk penangkaran tukik-tukik tersebut, instansinya memanfaatkan pegawai Dinas Perikanan, baik pegawai negeri maupun tenaga honor. “Ada sekitar 20 orang yang kami tugaskan di Pulau Jemur. Selain mengawasi perikanan dan kelautan di Pulau Jemur, beberapa di antara mereka ditugaskan untuk penangkaran penyu,” ujarnya.
Petugas yang 20 orang itu, menurutnya terbagi dalam empat kelompok. Satu kelompok terdiri dari lima orang. Mereka bergantian menjaga dalam periode dua minggu sekali. “Sebelum berangkat mereka sudah dibekali kebutuhan bahan makanan dan setiap bulan mendapat intensif Rp500 ribu,” ujarnya.
Dia juga memuji pegawainya, yang sejauh ini belum ada yang mundur saat ditugaskan ke pulau tanpa penduduk dan sinyal handphone tersebut. Meskipun mereka terkurung selama dua minggu di pulau tersebut, namun mereka tetap serius melakukan upaya konservasi penyu hijau tersebut.
Menurutnya penyu hijau dan habitatnya berupa gugusan pulau dan lautan lepas di tempat itu merupakan harta karun bagi Kabupaten Rokan Hilir. Mahkluk penyeimbang ekosistem yang masuk daftar merah sebagai spesies terancam punah menurut the International Union for Conservation of Nature (IUCN) tersebut patut dilestarikan. Apalagi menurut IUCN, binatang laut ini tercatat terancam punah sejak tahun 1982.
Untuk itu Wan menghimbau agar masyarakat Kabupaten Rokan Hilir ataupun nelayan di perairan itu dapat menjaga keberlangsungan penyu hijau. “Kalau ada yang terjaring di jaring nelayan, saya himbau untuk dilepas kembali. Mahluk ini sangat penting bagi penyimbang ekosistem. Ia juga menjadi daya tarik wisata bahari yang kini tengah dirintis oleh Pemda,” imbuhnya.
Semoga penyu hijau tidak punah dan pulau jemur tetap menjadi rumah yang nyaman bagi penyu hijau untuk singgah bertelur.***
maka mereka akan saling bunuh. Mereka makhluk kanibal dan bisa saling makan. Itu sebabnya sekarang yang bertugas memelihara tukik diseleksi. Tidak bisa asal-asalan,” ujar Andi yang ikut menjadi tim penyeleksi mengingat beberapa waktu sebelumnya kerap tukik ditemukan mati karena terlambat diberi makan.
Untuk pemenuhan ikan bagi pakan tukik tersebut, menurut Andi, kerap disumbangkan oleh para nelayan. Biasanya dua hari sekali, para nelayan mengantarkan ikan.
Di pulau yang belum berpenduduk itu, Andi dan teman-temannya di Dinas Perikanan bergantian untuk memelihara tukik tersebut. Setiap dua pekan sekali, mereka ganti shift. Satu shift terdiri dari lima orang. Beberapa bertugas mengawas untuk urusan kelautan dan perikanan sementara sisanya mengurus penangkaran.
“Biasanya kami merawat tukik-tukik ini hingga umur 4-5 bulan. Kalau sudah selebar mangkok bakso, baru dilepas,” ujarnya sembari menyebutkan bulan Mei lalu mereka telah melepas sekitar 500-an anak penyu.
Untuk menangkarkan penyu tersebut, menurut Andi, tidak dilakukan terus menerus. Ada masa off-nya, karena mengikuti penanggaran di Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). “Kalau anggaran sudah ketuk palu, barulah program ini di jalankan kembali. Jadi tidak setiap saat penangkaran ini ada,” ujarnya.
Andi juga menyebutkan bahwa mereka tidak melakukan proses penangkaran sendiri. Namun bekerja sama dengan petugas di Pos Pangkalan TNI AL dan Navigasi yang berada di Pulau Jemur. “Penetasan telur penyu memerlukan perlakuan tersendiri dan hanya bisa ditetaskan dengan pasir di tempat penyu bertelur. Jadi kami di sini, hanya membesarkan tukik dari hasil penetasan dari petugas TNI AL dan Navigasi,” cerita Andi.
Usai melihat penangkaran penyu di Pulau Labuhanbilik tersebut, perjalanan kami pun di lanjutkan ke Pulau Jemur, tempat Pangkalan TNI AL dan Navigasi. Hanya butuh waktu sekitar 10 menit untuk sampai ke pulau tersebut dengan speedboat. Sayangnya saat kami berkunjung belum ada telur yang dalam proses pengeraman. “Ini belum musimnya penyu bertelur. Dalam beberapa hari, mungkin hanya satu penyu yang mendarat untuk bertelur,” ungkap Muslik, petugas dari TNI AL yang kami temui di pangkalan TNI AL.
Muslik kemudian memberikan informasi bahwa penyu kerap bertelur bukan di pulau tempat mereka itu. Tetapi pulau yang berada di depan mereka. Pulau kecil berpasir tanpa penduduk ataupun petugas. “Penyu tidak akan bertelur di pulau yang ada suara manusia ataupun cahaya,” ujarnya.
Dia kemudian menunjukkan sebuah bak batu besar yang bisa ditemui sebelum naik ke pos mereka yang berada di atas bukit. “Bak ini dulu, yang kita jadikan tempat penangkaran,” ujarnya.
***
Bila melihat upaya penangkaran penyu hijau di pulau terluar Indonesia itu, orang mungkin tidak akan lupa dengan Sopyan Hadi. Pria yang pernah mendapatkan penghargaan Setia Lestari Bumi dan Kehati Award itu, adalah perintis kegiatan konservasi penyu hijau di pulau tersebut.
Upaya konservasi di tempat itu, di awali dari perjalanannya ke Pulau Jemur sekitar tahun 2001 untuk melihat induk penyu hijau yang bertelur. Untuk sampai ke pulau itu, pria kelahiran Pekanbaru, 30 Agustus 1975 itu menumpang perahu nelayan dengan waktu tempuh sekitar enam jam perjalan dari Kota Bagansiapi-api.
Dari situlah Sopyan jatuh prihatin dengan nasib penyu hijau yang terus diburu. Terutama telur-telurnya. “Telur penyu di Pulau Jemur telah lama dieksploitasi. Bahkan sejak zaman kerajaan dulu. Telur-telur penyu kerap dijadikan upeti bagi sang raja. Sementara saat ini banyak diperjual belikan untuk konsumsi manusia. Telur penyu ini punya nilai ekonomis cukup tinggi. Harga persatuannya berkisar Rp2.500,” paparnya, Rabu (23/2) lalu.
Padahal untuk dapat bertelur, umur penyu sudah harus diatas delapan sampai sepuluh tahun. Ditambah lagi persoalan telur-telur yang masih tersisa belum tentu bisa menetas. Dari ratusan telur yang dihasilkan penyu sekali bertelur, namun paling-paling yang bisa menetas hanya beberapa ekor.
Setelah menetas menjadi tukik pun, tambahnya, belum tentu juga dapat hidup. Mengingat saat menuju laut ataupun sampai di luat mereka kerap menjadi buruan predatornya. Seperti burung camar, gagak, elang sampai ikan moray, belut dan kerapu.
Kondisi itulah yang kemudian mendorong Sopyan untuk melakukan penangkaran. Meskipun menurutnya itu tidak mudah dijalankan. Iapun harus mendekati nelayan dan juga petugas yang kerap mengambil dan menjual telur-telur itu untuk tidak mengeksploitasi semua telur penyu. “Kalau yang sudah penyek ataupun terkena air tawar (hujan) kemungkinan tidak akan berhasil jadi tukik. Nah, kalau itu bisa dimanfaatkan. Jadi tidak bisa mereka disuruh serta merta berhenti. Tetapi harus dipilah-pilah,” jelasnya.
Selanjutnya, Sopyan menuturkan upaya konservasi ditempat itu dimulai dengan membantu pengeraman telur agar bisa menetas lebih banyak. Kalau ayam bisa ditetaskan dengan bantuan lampu, maka dia pun berpikir untuk melakukan hal serupa. Namun karena keterbatasan listrik di tempat itu, membuat dia berpikir lagi mencari cara yang lebih efektif. Terpikirlah untuk memanaskan telur-telur itu dengan pasir.
Pasir it digongseng, lalu dimasukkan ke dalam bak fiber. Lalu telur-telur dimasukkan dengan menyusunnya seperti obat nyamuk. Barulah pasir tadi dimasukkan lagi. Disimpan di gudang minyak TNI AL. Ternyata upayanya itu berhasil. Hampir 85 persen telur yang dieramkan dengan cara itu menetas. Puluhan bahkan ribuan tukik pun berhasil lahir.
Sopyan- pun memaparkan keberhasilan itu ke almamaternya. Unri kemudian membantu penyedian bak fiber tambahan. Seiring dengan itu, dia pun berhasil lulus sebagai pegawai negeri sipil di Rokan Hilir dan sempat menjadi ajudan bupati. Hal itu membuatnya mendapatkan kesempatan untuk menceritakan tentang aktivitasnya dan tukik-tukik yang siap berenang di laut itu. Akhirnya, perjauangannya yang dimulai tahun 2002 tersebut disambut oleh Pemerintah Daerah Rokan Hilir.
Menurut Wan Rusli, Kadis Perikanan dan Kelautan Rokan Hilir, Rabu (32/2), Pemda khususnya instansi yang dipimpinnya telah memulai program penangkaran penyu itu sejak tahun 2006 lalu. Setiap tahun mereka menargetkan 5-10 ribu tukik yang bisa ditangkarkan dan akhirnya bisa dilepas ke laut. “Setiap tahun itu dianggarkan di APBD. Nilainya sekitar 40 juta,” ungkap Wan kepada Riau Pos.
Untuk penangkaran tukik-tukik tersebut, instansinya memanfaatkan pegawai Dinas Perikanan, baik pegawai negeri maupun tenaga honor. “Ada sekitar 20 orang yang kami tugaskan di Pulau Jemur. Selain mengawasi perikanan dan kelautan di Pulau Jemur, beberapa di antara mereka ditugaskan untuk penangkaran penyu,” ujarnya.
Petugas yang 20 orang itu, menurutnya terbagi dalam empat kelompok. Satu kelompok terdiri dari lima orang. Mereka bergantian menjaga dalam periode dua minggu sekali. “Sebelum berangkat mereka sudah dibekali kebutuhan bahan makanan dan setiap bulan mendapat intensif Rp500 ribu,” ujarnya.
Dia juga memuji pegawainya, yang sejauh ini belum ada yang mundur saat ditugaskan ke pulau tanpa penduduk dan sinyal handphone tersebut. Meskipun mereka terkurung selama dua minggu di pulau tersebut, namun mereka tetap serius melakukan upaya konservasi penyu hijau tersebut.
Menurutnya penyu hijau dan habitatnya berupa gugusan pulau dan lautan lepas di tempat itu merupakan harta karun bagi Kabupaten Rokan Hilir. Mahkluk penyeimbang ekosistem yang masuk daftar merah sebagai spesies terancam punah menurut the International Union for Conservation of Nature (IUCN) tersebut patut dilestarikan. Apalagi menurut IUCN, binatang laut ini tercatat terancam punah sejak tahun 1982.
Untuk itu Wan menghimbau agar masyarakat Kabupaten Rokan Hilir ataupun nelayan di perairan itu dapat menjaga keberlangsungan penyu hijau. “Kalau ada yang terjaring di jaring nelayan, saya himbau untuk dilepas kembali. Mahluk ini sangat penting bagi penyimbang ekosistem. Ia juga menjadi daya tarik wisata bahari yang kini tengah dirintis oleh Pemda,” imbuhnya.
Semoga penyu hijau tidak punah dan pulau jemur tetap menjadi rumah yang nyaman bagi penyu hijau untuk singgah bertelur.***
0 komentar:
Posting Komentar