Blogger Tricks


0

Bumi dan Para Spesies Bumi

Riau Pos - For Us Senin, 23 April 2012 ,
internet BUMI : Jaga keseimbangan alam di bumi. Jadikan bumi sebagai tempat kita hidup. Cintai lingkungan sekitar untuk kehidupan yang lebih baik.

Hampir setiap manusia mentransformasi fakta universalitas bumi menjadi ilusi seumur hidupnya. Planet Bumi dipandang sebagai tempat yang diciptakan khusus untuk manusia. Manusia pun mengembangkan pola berpikir dan bertindak sebagai penguasa di bumi. Di seluruh dunia, dari istana presiden hingga sekolah, rumah tangga dan warung kopi, seolah-olah hanya manusia yang pantas disebut penghuni bumi. Semua kehidupan lain di atasnya diperlakukan sebagai pelengkap, penghias, penghibur, pemenuh kebutuhan, dan sebagainya. Mindset manusia ini menjadi penyebab mendasar kerusakan alam, pemanasan global dan berbagai penyakit degeneratif manusia.

Planet Bumi adalah rumah bersama satu-satunya untuk semua kehidupan. Semua kehidupan di Planet Bumi dihubungkan oleh Sang Pencipta dalam satu super interkoneksi dengan sinergi yang maha canggih, yang tidak akan pernah habis dieksplorasi oleh manusia, kecuali oleh mereka yang terperangkap dalam kotak egoisme. Tanpa Planet Bumi, segala wujud kehidupan sederhana pun tidak akan mungkin terjadi. Tanpa bumi, kehidupan dan prestasi apapun hanya impian dan harapan. Tanpa bumi, bahkan bermimpi pun mustahil terjadi. Planet Bumi nyata-nyata merupakan rumah kita yang teragung bagi semua kehidupan. Inilah alasan mengapa manusia seharusnya menghormati dan menyayangi bumi.

Di atas bumi terdapat triliunan wujud kehidupan yang 'interconnect' dan memiliki tujuan yang sama, yakni kesejahteraan dan kebahagiaan. Jutaan spesies hewan memiliki sistem saraf yang kompleks untuk mengalami kenyamanan dan kegembiraan. Bahkan, banyak spesies memiliki sistem saraf yang jauh lebih kompleks dan canggih daripada sistem saraf manusia. Sebagai contoh, manusia memiliki sekitar 5 juta sel penciuman di hidungnya. Seekor domba Jerman memiliki sekitar 200 juta. Hewan ini mampu mendengar suara secara jelas sejauh sekitar 180 meter. Manusia hanya mampu mendengar suara bicara normal secara jelas dalam jarak sekitar 18 meter. Ini berarti, hewan-hewan berpotensi mengalami ketidaknyaman dan kesakitan berkali-kali lebih besar daripada manusia dalam kondisi negatif yang sama. Ini juga berarti, dunia fauna mempunyai kemampuan sangat peka untuk mengalami kesejahteraan dan kebahagiaan.

Hewan-hewan yang dilahirkan di Planet Bumi ini dianugerahi Sang Pencipta dengan kemampuan untuk merasa bahagia, nyaman, bebas leluasa, takut, sakit, sedih, stres, menangis, tertawa, disayangi, dibenci, memiliki dan kehilangan -- tentu saja dengan cara unik. Dalam sebuah eksperimen di University of Wisconsin, sekelompok anak monyet dipisahkan dari induk mereka. Hasilnya mengejutkan:

"Mereka memperlihatkan banyak tanda reaksi saraf yang ekstrim dan bahkan psikis. Kebanyakan mereka melewati waktu dengan duduk pasif menengadah ke angkasa, tidak tertarik pada monyet lain atau hal lain. Beberapa dari mereka mengucilkan diri dalam posisi disiksa, dan monyet lainnya malah menggigit-gigit bagian tubuh mereka sendiri. Ini semua merupakan gejala-gejala pada manusia dewasa saat dikurung di pusat-pusat rehabilitasi penyakit jiwa." (Diet for a New America, John Robbins, pp. 38-39).

Hewan-hewan bisa bersikap empatik, bersyukur dan mengasihi dengan cara mereka sendiri. Bukan dengan cara manusia karena mereka jelas bukan manusia. Mereka memiliki kekuatan untuk bertahan hidup dan mengasihi kehidupan. Harun Yahya, seorang kreasionis muslim kelahiran Turki, berpendapat,” Kerajaan hewan seringkali menampilkan tingkah laku yang mencerminkan pengabdian dan kerjasama, rasa persaudaraan dan saling menjaga kebutuhan satu sama lain.“
Suatu hari, di Kota Hermitage, Tennessee, Amerika, seekor burung kenari terbang cukup jauh untuk memberitahu sang keponakan bahwa Bibi Tess yang sudah tua telah jatuh tergeletak di lantai rumahnya, tak sadarkan diri dan mengeluarkan darah. Tidak pernah terlihat keluar rumah sebelumnya, kali ini Bibs harus terbang keluar rumah sejauh beberapa ratus meter di tengah malam dan mengetuk jendela sang keponakan hampir sepanjang tengah malam tanpa henti. Karena ketukannya begitu lemah, sang keponakan dan suaminya tidak mengacuhkan suara tersebut dan tetap melanjutkan tidurnya.
Singkat cerita, Bibs, sang burung kenari, akhirnya berhasil menyelamatkan nyawa majikannya. Ia sendiri akhirnya jatuh kelelahan dan menghebuskan nafas terakhirnya di hadapan sang keponakan setelah sang keponakan bangun dan membuka jendela yang diketuknya.

Mungkin kisah nyata seekor burung yang begitu bajik seperti Bibs hampir tak pernah kita dengar sebelumnya dari udara planet ini, apalagi kita lihat. Biasanya, kita hanya mendengar kisah-kisah nyata seperti ini dari darat dan air tentang seekor anjing, kuda, gajah, babi, lumba-lumba dan penyu. Itu pun hanya membuat kita terharu sesaat, dan sulit bagi kita untuk mengerti lebih dari itu: sang jiwa yang berada dibalik tatapan mata dan wajah lucu lugu tak berdaya itu. Mungkin, ini disebabkan oleh keterbatasan interaksi sosial dan kemampuan observasi manusia.

Ketidaksempurnaan sistem saraf dan fungsi psikis hewan-hewan hanyalah cerita subjektif manusia. Sebab, manusia belum dan, mungkin, akan sangat sulit memasuki alam dan cara berpikir hewan – apalagi dengan wawasan egosentrisnya. Fakta bahwa setiap hewan memiliki cara komunikasi yang unik dan indera yang sangat tajam, sudah cukup membuktikan mereka punya CPU (central processing unit) dan psikomotorik yang canggih.

Manusia selalu menjadikan dirinya sebagai tolok-ukur untuk segala hal di planet ini. Padahal, misalnya, bisa saja di Planet Jupiter ada makhluk yang sangat 'superior' yang pernah mengunjungi Planet Bumi. Mereka bisa saja mengelompokkan spesies manusia ke dalam keluarga kera dalam ilmu "biologinya". Mark Twain, sastrawan terkenal Amerika di pertengahan abad ke-20, menulis,"Ini persis semacam keangkuhan dan sikap tak sopan manusia menyebut seekor hewan bodoh hanya karena persepsi bodoh manusia itu sendiri."

Manusia selalu hidup dalam kotaknya sendiri dan memandang seluruh dunia sama seperti memandang dirinya sendiri. Bahkan, sesama spesies manusia pun, manusia tak mampu memahami bentuk-bentuk inteligensi yang berbeda dari sesamanya. Kedua orangtua Albert Einstein yakin anaknya mengalami keterbelakangan mental karena ia berbicara terpatah-patah sampai usia 9 tahun. Bahkan setelah itu, ia memerlukan waktu lama untuk merespon pertanyaan. Kecuali matematika, prestasi Einstein di bidang lainnya selalu buruk sehingga seorang guru yang menyuruhnya 'drop out' mengatakan,"Engkau takkan pernah menggapai apa-apa, Einstein." Begitulah, hal serupa juga dialami Thomas Alva Edison, para ilmuwan dunia lain dan, sangat, sangat mungkin, jutaan anak-anak manusia di seluruh sekolah, keluarga dan masyarakat dunia saat ini.

Manusia selalu tidak mampu melihat anugerah unik Tuhan Yang Maha Pencipta, Maha Pengasih dan Maha Adil di dalam kehidupan lain. Bagi manusia, kemahaan Sang Khalik hanya untuk konsumsi manusia. Bagi manusia, Tuhan hanya berpihak pada manusia. Bagi manusia, Tuhan paling mengasihi manusia. Bagi manusia, Kasih Tuhan hanya milik manusia. Bagi manusia, di antara triliunan planet di Jagat Raya, Tuhan hanya memperhatikan Planet Bumi karena di dalamnya ada manusia. Bagi manusia, di luar spesies manusia, semua makhluk planet lain adalah "alien" yang menakutkan dan jahat -- seperti tercermin dalam film-film Holywood. Bukankah pikiran manusia yang demikian telah mengkondisikan, menyandera, memasung dan mengecilkan Kasih Tuhan?

Sang Pencipta tidak memberi anugerah pengetahuan dan kemampuan psikis ke dalam diri setiap ciptaanNya tanpa dasar kasih dan fungsi kebahagiaan universal. Voltaire berkata,"Animals are endowed with life as we are." Hewan-hewan diciptakan dengan anugerah hidup sama seperti manusia. Maka, sama seperti kasih dan kebahagiaan universal dan non-diskriminatif untuk spesies manusia, Tuhan pun tidak mengizinkan hewan-hewan diteror, dieksploitasi, disakiti, sedih dan depresi dalam menjalani kehidupannya. Tidak heran, hampir tidak ada spesies hewan yang rela dan bahagia ditangkap, dikurung dan disakiti – karena itu bukan kodratnya.

Dalam spektrum spritual, jika benar manusia berada pada tingkat spiritual paling tinggi diantara semua spesies Planet Bumi, maka seharusnya manusia memiliki panggilan nurani dan tanggungjawab moral paling murni dan paling konsisten untuk mengasihi Planet Bumi. Jika manusia memang dapat membuktikan secara objektif, ia adalah spesies Bumi yang dianugerahi kemampuan inteligensi tertinggi dari semua spesies Bumi yang ada, maka ia seharusnya menggunakan inteligensinya secara benar untuk mengayomi semua kehidupan lain diatasnya. Mengasihi Planet Bumi berarti secara langsung mengayomi semua kehidupan. Mengasihi Planet Bumi tanpa mengayomi kehidupan di atasnya sama artinya dengan menyayangi raga dan menterlantarkan jiwa.

Kita tidak akan pernah bisa berbicara tentang kehidupan tanpa Planet Bumi. Sebaliknya, kita juga tidak akan pernah bisa berbicara tentang Planet Bumi tanpa kehidupan diatasnya. Kita tidak mungkin menjaga Bumi sementara, sesama kehidupan diatasnya, kita menindas hak kodrati makhluk lain. "Berkuasa" atas Bumi secara cerdas, bijak, bermoral dan bernurani jelas bukan penyiksaan, eksploitasi dan pemusnahan kehidupan.


 Happy Earth Day 2012.

Jowly Yohanesh

Secretary General, Vegan Society of Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar