Pelestarian fauna endemik sangat penting untuk dilakukan mengingat lokasi persebarannya tidak memiliki kelimpahan yang luas. Biasanya, selain digunakan sebagai maskot suatu daerah, fauna endemik juga dapat dimanfaatkan sebagai komoditas ekonomi. Namun tidak semua fauna endemik dapat dimanfaatkan sebagai komoditi karena keberadaannya yang terancam punah dan tergantung pada jenis spesiesnya.
Ikan lais atau yang juga dikenal dengan nama selais dalam bahasa melayu, merupakan fauna endemik pada ekosistem floodplain river (sungai paparan banjir) yang menjadi maskot kota Pekanbaru. Ikan lais ini merupakan ikan endemik yang memiliki nilai ekonomis tinggi karena bersifat sebagai ikan konsumsi terutama jika telah diolah menjadi ikan lais salai (smoked fish). Bahkan belakangan ini, produk ikan lais salai juga sudah mulai diekspor ke negara tetangga seperti Malaysia.
Ikan lais biasanya di dapatkan dari hasil tangkapan para nelayan di sungai-sungai paparan banjir. Namun sejauh ini pembudidayaan ikan lais belum banyak dilakukan seperti pembenihan ikan lele dumbo (Clarias gariepinus), ikan baung (Ompok hypophthalmus), ikan patin (pangasius hipothalmus) dan beberapa ikan budidaya lainnya. Meski status lais belum dinyatakan sebagai fauna yang terancam punah, namun populasinya di alam sudah cenderung menurun.
“Tidak mudah dalam membudidayakan ikan lais mengingat kemampuan beradaptasinya hanya terdapat pada habitat sungai paparan banjir, untuk itu perlu adanya pembudidayaan yang mampu menyelamatkan keberadaan maskot kota Pekanbaru tersebut,” jelas Dr. Roza Elvyra S.Si, M.Si, dosen biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Riau saat ditemui jum’at (13/01) lalu.
Roza, sapaan akrabnya juga menambahkan bahwa di alam, proses perkembangbiakan ikan lais dipengaruhi oleh musim yaitu pada awal pergantian antara musim panas ke musim hujan, sementara jika dikaitkan dengan perubahan iklim global yang melanda dunia saat ini, kondisi cuaca yang tidak menentu sangat mempengaruhi proses reproduksi ikan lais tersebut.
Teknologi yang diterapkan dalam pembudidayaan ini adalah dengan penyuntikan hormon ovaprim pada induk jantan dan betina ikan lais. Cara ini merupakan teknik pembenihan yang dilakukan oleh para peneliti dari berbagai universitas di Riau, Agusnimar, Johan TI, Setiaji J, Rosyadi, Ediwarman, dan Nuraiani pada 2003-2005 lalu, yang turut berusaha untuk melestarikan maskot kota Pekanbaru tersebut.
”Teknik itu telah diuji coba untuk pertama kalinya melalui pelatihan Iptek bagi Masyarakat (IbM) kepada Kelompok Tani Pembenihan Ikan yang berada di lingkar Danau Buatan Kelurahan Lembah Sari, Kecamatan Rumbai Pesisir pada akhir tahun 2011 yang lalu,” ujar Roza.
Teknik pembudidayaan ikan lais ini dapat dikatakan lebih cepat jika dibandingkan dengan perkembangbiakan secara alami yang harus menunggu pergantian musim. Sementara untuk teknik ini hanya membutuhkan pemilihan bibit ikan lais yang benar-benar telah matang untuk bereproduksi agar siap untuk di suntik hormon ovaprim.
Waktu yang diperlukan mulai dari proses penyuntikan hormon pada induk ikan lais hingga menetasnya telur-telur ikan lais tersebut hanya berkisar dua hari.
“Hal ini dapat mempersingkat waktu jika dibandingkan dengan proses perkembangbiakan secara alami yang membutuhkan waktu yang lebih lama,” ucap Roza menjelaskan disela-sela kesibukkannya di ruang kerjanya.
Namun, Roza menambahkan bahwa hal yang tersulit adalah menentukan induk yang sudah benar-benar matang dan siap untuk di suntik, karena sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pembenihan ikan lais.(diah-gsj)
0 komentar:
Posting Komentar