Zona Inti GSK-BB pun Pernah di Rambah
Selain menyimpan pesona keanekaragaman hayati tumbuh-tumbuhan dan hewan, ternyata di Zona Inti (Core Zone) Cagar Biosfer Giam Siak Kecil (GSK-BB) juga tinggal 107 kepala keluarga. Mereka menggantungkan hidup dari kekayaan alam yang terdapat di kawasan tersebut. Akankah kebutuhan ekonomi dan keharusan untuk menjaga kelestarian alam akan berjalan selaras di kawasan ini?
Awal Pekan kedua di bulan Mei (9/5) merupakan hari yang cerah untuk melakukan perjalanan sejauh empat jam Pekanbaru-Duri. CB GSK-BB mendapat tamu dari jauh, negeri Sakura, Jepang. Mereka merupakan mitra pihak Asia Pulp and Paper (APP). Maka bersama dengan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA), Rombongan Stakeholder Relations Sustainability and Angagement APP Jakarta, Tim Askul dan Morubeni-Jepang, Tim Riau Pos berangkat menuju zona inti cagar biosfer.
Setelah diolengkan oleh bus yang kami tumpangi ke kiri, kanan, depan dan belakang melewati kawasan HTI Sinarmas Forestry, jam 13.35 rombongan sampaikan di kawasan inti GSK-BB. Tepatnya di Desa Tasik Betung, Kampung Baru, Duri.
Perjalanan yang cukup melelahkan tersebut terbayar sudah dengan keramahan alam serta masyarakat di daerah tersebut. Tarian persembahan lima siswa SD Negeri 006 Tasik Betung menggambarkan ucapan selamat datang dari warga di zona inti GSK-BB tersebut.
“Orang-orang yang unik dan berbeda dengan di negara saya,” ucap, Kano, satu-satunya wanita dan perwakilan APP Jepang yang turut dalam trip tersebut.
“Kami terharu dan sangat senang dengan kunjungan ini, apalagi ini merupakan kunjungan asing pertama, biasanya yang selalu datang adalah orang-orang dari dinas,” ungkap Asminiwati, guru SD N 006 Tasik Betung dalam sambutan singkatnya pada kesempatan tersebut.
Sepuluh meter dari tempat rombongan ngaso, dengan berjalan di undakan-undakan tangga tanah, terdapat Danau Tasik Betung yang tampak tenang. Air hitamnya memantulkan setiap panorama yang ditangkapnya. “Sudah dua tahun ini, Tasik Betung tidak pernah kering lagi,” cerita Asminiwati diiyakan dengan anggukan kaum ibu yang turut menyambut kami. Kalau Tasik Betung kering, tambahnya, kita bisa berjalan diatasnya.
Semilir angin yang tidak berhenti menjadikan suasana di desa yang juga bernama Tasik Betung tersebut terasa segar, meskipun suhu panas menanjak hingga 36 derajat celcius. Dalam suasana tersebut warga setempat, M Kurnia Rauf-kepala BKSDA, Pihak APP, Askul dan Marubeni Cooporation bercengkrama akrab meskipun hanya duduk dengan beralas tikar plastik berwarna biru.
“Kami ingin meninjau kondisi lingkungan dan masyarakat di sini secara langsung,” jelas Stephan Irmea Sinisuka, Stakeholder Relations APP Jakarta. Sebab, lanjutnya, pelestarian lingkungan bukan hanya tentang lingkungan namun juga tentang masyarakatnya.
“Kita tidak bisa menyalahkan masyarakat secara sepihak jika terjadi kerusakan hutan. Selalu ada alasan dibalik semua itu, misalnya masalah ekonomi,” tambahnya. Oleh karena itu, kedepan, kata Stephan begitu ia dipanggil, mereka akan melakukan pendekatan kepada masyarakat. Hal itu untuk menemukan solusi atau kegiatan seperti apa yang akan dilakukan, dalam rangka kegiatan restorasi kawasan inti cagar biosfer. Terutama beberapa kawasan yang pernah mengalami perambahan atau pengrusakan.
“Setiap tempat atau desa akan diberikan solusi yang berbeda-beda sesuai dengan permasalahan dan kendala yang mereka,” terang M Kurnia Rauf di tengah dialog dengan warga setempat.
Sebab tambanyahnya lagi, permasalahan desa satu dengan yang lainnya pasti berbeda-beda. Kurnia juga menyampaikan bahwa kunjungan ke zona inti GSK-BB tersebut, merupakan penguatan terhadap fungsi pengelolaan cagar biosfer sebagai upaya pengelolaan manusia dan lingkungan.
Masyarakat bisa memanfaatkan kawasan cagar biosfer, ujarnya lagi. Namun harus dengan pola yang berbeda. Misalnya masyarakat bisa mencoba kegiatan ekowisata atau jasa lingkungan dengan memanfaatkan danau, tasik dan lingkungan disekitar GSB-BB. “Tentu saja itu akan diperbolehkan jika warga menjaga kondisi lingkungan di sini dengan baik dan sesuai kaedah pengelolaan cagar biosfer,” terangnya.
Hal tersebut seperti kembali disepakati oleh rombongan lainnya, “pihak Jepang ingin melakukan sesuatu untuk lingkungan, bukan hanya dengan memanfaatkannya untuk kebutuhan,” lanjut Stephan. Kami ingin melakukan restorasi di kawasan cagar biosfer yang pernah mengalami kerusakan atau pembalakan liar.
Namun, ujarnya lagi, kami akan menanamnya dengan pohon-pohon yang asli dari habitat di kawasan ini. “Misalnya jelutung,” kata Stephan mengambil contoh pohon yang asli dari habitat GSK-BB. Pohon ini sangat bagus, memiliki potensi banyak dan bisa dimanfaatkan juga untuk perekonomian masyarakat karena menghasilkan karet dengan jenis yang lebih soft (lunak). Jelutung juga pohon langka yang tidak ada lagi di dunia kecuali di kawasan tropis.
Stephan mengakui bahwa kegiatan tersebut harus didukung sepenuhnya oleh masyarakat. Sebab pihaknya akan melibatkan masyarakat langsung dalam kegiatan yang belum bernama tersebut. “Masyarakatlah yang berperan sebagai maintanance dan pengelola di sini,” ungkapnya.
Usai temu ramah dengan warga Tasik Betung, rombongan melanjutkan perjalanan menuju Perawang. Sekitar seratus meter melewati inti GSK-BB, bukaan-bukaan lahan sebagai bentuk dari perambahan terlihat disana-sini. “Kurang lebih 20.000 hektare lahan di kawasan GSK-BB pernah mengalami perambahan,” komentar Canecio P Munoz, Environment Director Sinar Mas Forestry sekaligus berperan sebagai pemandu rombongan.
20 hektare kawasan HTI Sinar Mas Forestry yang turut mengalami perambahan akan ditanami dengan tanaman industri kembali, lanjutnya. Namun yang telah menjadi kawasan CB GSK-BB akan ditanami dengan tanaman habitat asli yang nantinya akan bekerjasama dengan BBKSDA.
“Buffer zone atau zona penyangga yang umumnya mengalami perambahan harus dikelola dengan baik,” tuturnya. Sebab kawasan buffer jika rusak akan membahayakan kawasan inti, tambahnya, sambil menunjukkan garis pinggir zona inti GSK-BB yang tampak sangat rimbun dan disesaki pepohonan. Sementara tepat di sisi lain kawasan buffer telah rusak dan meranggas hitam.
Meskipun di wilayah ini udara panas membuat kepala berdenyut-denyut, namun rombongan memutuskan untuk turun sejenak melihat secara langsung daerah yang pernah dirambah tersebut. “Inilah yang menjadi tantangan dan pekerjaan rumah untuk pemerintah,” tambah Munoz. Meskipun 20 meter dari zona inti merupakan buffer yang bisa di manfaatkan dan di kelola oleh masyarakat, ujarnya kemudian, namun harus tetap dijaga agar kawasan tidak lantas ikutan rusak.
0 komentar:
Posting Komentar