Muhammad Amin / Riau Pos
KANAL : Kanal-kanal yang berfungsi untuk penataan air di kawasan cagar biosfer.
Sebagai kawasan yang dikepung lahan gambut, kebanyakan masyarakat Riau masih menganggapnya sebagai 'musuh'. Padahal jika diajak berdamai, dengan sedikit sentuhan teknologi, air gambut pun dapat menjadi teman yang ramah.
Bukit Batu, m-amin@riaupos.com
Riau memiliki luas lahan gambut yang cukup spektakuler, 4 juta hektare. Sangat luas. Masalahnya, lahan gambut menyimpan air asam keruh yang tak layak konsumsi. Tak semua vegetasi dapat tumbuh di lahan gambut berair dengan baik. Ikan-ikan pun menunjukkan tren berkurang, bahkan beberapa spesies terancam punah. Jika musim kering, kebakaran lahan gambut dapat meluas dalam waktu singkat. Bencana asap dahsyat tahun 1997 yang menyelimuti Asia Tenggara adalah bukti dahsyatnya.
Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu yang terletak di Kabupaten Bengkalis dan Siak, Riau, juga terdiri dari lahan gambut. Menurut Direktur Lembaga Penelitian Universitas Islam Riau (UIR), Dr Ir Agusnimar MSc, kawasan yang sangat luas ini harus memiliki pengelolaan tata air yang baik. Banyaknya tasik dan rawa sebenarnya telah menjadi menjadi penata air di Cagar Biosfer yang terbentuk secara alami. Akan tetapi terjadi perubahan iklim dengan intensitas hujan yang tinggi dan panas hebat. Lalu degradasi lahan akibat penebangan liar, serta proses pendangkalan di beberapa sumber air seperti tasik dan rawa.
‘’Ini menjadikan penataan air alami kurang maksimal,'' ujar Agusnimar kepada Riau Pos, Jumat (11/11). Agusnimar menyebut, di Cagar Biosfer terdapat 19 tasik dan sejumlah rawa gambut. Secara alami, memang sudah terjadi pendangkalan tasik dan sungai. Pendangkalan ini dapat dikurangi dengan memelihara hutan alamnya. Sungai, menurutnya adalah jalan raya bagi air yang masuk dan keluar dari tasik dan rawa. Selain yang sudah disediakan alam, perlu penataan lebih kompleks.
''Perlu dibuat pintu air atau dam agar terjadi keseimbangan air saat musim kemarau atau musim hujan,'' ujar Agusnimar menyarankan.
Ikan Terancam
Degradasi alam akibat gangguan sistem hidrologi tak hanya berdampak pada ekosistem secara umum. Bahkan penurunan kualitas air akibat pengikisan, diduga telah menyebabkan mulai berkurangnya beberapa jenis ikan. Beberapa jenis ikan di kawasan cagar biosfer ini memang terancam punah. Selain karena kualitas air yang menurun disebabkan banyaknya partikel tanah yang masuk ke air, faktor lain yang krusial adalah akibat perburuan. Salah satu ikan endemik yang paling banyak diburu adalah tapah. Indukan tapah yang dapat mencapai berat 5-10 kg perekor harganya relatif mahal, yakni Rp50 ribu/kg. Ini menjadikan induk tapah menjadi perburuan.
Peneliti dari Balitbang Bengkalis, Ir Sofyan Hadi menyebutkan, ikan tapah hidup di beberapa tasik di zona inti Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu, yakni Tasik Serai, Tasik Air Hitam, Tasik Betung, Tasik Ketialau dan beberapa tasik/danau kecil lain. Saat berkembang menjadi dewasa, ikan-ikan itu berenang ke sungai-sungai, di antaranya Sungai Bukit Batu dan Sungai Siak Kecil yang bermuara ke laut. Saat akan bertelur, tapah kembali ke tasik-tasik tempatnya berasal.
''Saat bergerak di sungai itulah tapah ditangkap. Kadang dalam jumlah besar dan indukannya juga ditangkap. Inilah yang menyebabkannya terancam punah,'' ujar Sofyan Hadi.
Untuk itu, pihaknya sejak Januari 2011 lalu mulai melakukan pembibitan ikan tapah. Kendati sulit--misalnya dengan sulitnya membedakan yang jantan dan betina, sehingga ada yang menyebutnya hermaprodit--, nyatanya tapah dapat dikembangkan. Budidaya tapah pun sudah dimulai di Desa Lubuk Gaung, Siak Kecil, dengan beberapa keramba. Sejauh ini cukup berhasil. Pengembangan ini tentu sejalan dengan pemanfaatan air gambut di kawasan ini.
Menurut Agusnimar, memang terdapat treatment khusus untuk mengembangkan budidaya perikanan di kawasan gambut yang tingkat kekeruhannya tinggi dengan warna air kemerahan. Beberapa ikan endemik seperti baung dan selais diketahui memiliki populasi yang menurun di habitat aslinya. Selain karena intensitas penangkapan yang tinggi, juga karena habitat alam yang makin terdegradasi. Endapan yang tinggi akibat penebangan hutan dan sisa pupuk sawit jadi penyebabnya.
Lembaga Penelitian UIR juga mengembangkan beberapa ikan seperti selais, lele dan patin. Dengan kondisi air gambut, dikembangkan kolam karpet dan tadah hujan. Pengembangan dilakukan dengan sistem pembenihan buatan (artifisial propagation). Budidaya ini dianggap bisa menjaga kelangsungan ikan-ikan yang terancam punah ini. Dalam kunjungan beberapa waktu lalu, Riau Pos sempat mengamati pembibitan di Desa Temiang Kecamatan Bukit Batu. Kondisinya sedikit beda dengan di Lubuk Gaung yang dilakukan di keramba sungai.
''Di alam, selais hanya bisa memijah sekali setahun saat musim hujan. Namun dengan budidaya bisa hingga dua kali dengan produksi lebih banyak,'' ujar Agusnimar menyebut keunggulan budidaya.
Salah satu aspek penting dalam budidaya ini adalah treatment (perlakuan) khusus terhadap air. Di beberapa tasik tempat habitat asli ikan-ikan ini, tingkat keasaman air (pH)nya dari hasil penelitian LIPI adalah 4 hingga 5, dengan tingkat kekeruhan 50 cm. PH di sungai-sungai hampir sama, cuma kekeruhannya lebih tinggi, yakni 25 cm. Kekeruhan ini terjadi karena pengikisan, pencemaran limbah sawit, termasuk dampak penebangan liar, kebakaran lahan, banjir dan lainnya. Kekeruhan biasanya diukur dengan piring sechi yang ditenggelamkan dan dilihat dari permukaan air. Makin dekat piring sechi dapat terlihat dari permukaan air, artinya air semakin keruh. Secara biologis, di sungai yang tercemar juga sudah mulai miskin fitoplankton (phytoplankton), sumber makanan alami ikan.
''Habitat ikan itu idealnya dengan ph 4 hingga 5, dengan kekeruhan maksimal 45. Terlalu keruh atau terlalu jernih juga tak baik. Terlalu jernih akan mengurangi unsur hara. Dalam budidaya ini, tugas kita menjaga kualitas air, baik ph, kekeruhan atau unsur haranya. Kita juga perlu mengedukasi masyarakat,'' ujar Agusnimar.
Untuk menjaga pH air dan tingkat kekeruhannya, Lemlit UIR melakukan treatment secara fisik dan kimia. Secara fisik dilakukan dengan menyaring air menggunakan campuran ijuk, kerikil, dan pasir. Adapun cara kimia dengan menggunakan bahan quagulasi. Tujuannya untuk menggumpalkan partikel tanah, sekaligus untuk merangsang ikan agar lebih banyak makan. Untuk meningkatkan ph, air diberi fitsal, sejenis bahan penambah ph air.
''Sedangkan untuk mengayakan fitoplankton, kita beri planktop sehingga makhluk-makhluk kecil ini bisa berkembang biak,'' ujarnya.
Penataan Air dan Bio Village
Selain pemberdayaan masyarakat dengan budidaya perikanan terpadu, konsep penataan kawasan lainnya juga digesa. Penataan kawasan di sekitar kawasan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit secara umum dilakukan dengan konsep bio village (perkampungan hayati). Saat pembukaan The 2 th South-South Cooperation (SSC), (4/10) lalu, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menyampaikan konsep ini, agar masyarakat sekitar turut menjaga hutan alam.
Tanah gambut berlabel cagar biosfer ini memang bukan semuanya hutan alam. Ada tiga kawasan, yakni zona inti (core zone), zona penyangga (buffer zone) dan zona transisi (transition zone). Kawasan ini memiliki luas zona inti 178 ribu hektare, zona penyangga 222 ribu hektare dan zona transisi 304 ribu hektare. Zona inti terdiri dari hutan alam dengan vegetasi beragam mulai bintangur (calophyllum), meranti (shorea sp), terentang (campnosperma corlaceum), ramin, hingga medang (alseodaphne sp). Adapun fauna antara lain beruang madu, babi hutan, monyet, kijang, berbagai jenis ular, harimau hingga gajah. Zona penyangga dikelola privat sectore, dan kebanyakan ditanam akasia sebagai hutan tanaman industri (HTI) milik Sinar Mas Grup. Sedangkan zona transisi beragam bentuk, mulai dari kebun sawit, lahan-lahan perkebunan masyarakat, hingga lahan tidur yang terbiar.
Kawasan zona transisi ini diharapkan dapat menjadi benteng bagi zona inti cagar, selain zona penyangga. Menurut Program Director Man and Biosphere (MaB) Indonesia, Dr Ir Purwanto, masyarakat perlu diberdayakan dalam penataan kawasan berkonsep bio village. Untuk itu masyarakat libatkan dalam menjaga ekosistem, termasuk penataan air dan kawasan lahan gambut. Selain pemberdayaan dengan budidaya perikanan, pihaknya bersama LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan Sinar Mas juga membuat pengolahan air gambut.
LIPI sebenarnya sudah menerapkan instalasi pengolahan air gambut (IPAG) sejak tiga tahun lalu, dari yang sederhana hingga yang terbaru. Secara tradisional, misalnya menggunakan campuran tanah lempung untuk mengikat dan mengumpulkan keruhnya air. Selain itu diperlukan juga pasir dan ijuk untuk saringan airnya. Dengan peralatan sederhana berupa drum-drum, teknologi sederhana ini sudah dapat diterapkan dan menghasilkan air bersih standart.
Selain yang sederhana, IPAG berteknologi terbaru LIPI juga sudah disiapkan di Desa Tanjung Leban, Kecamatan Bukit Batu. LIPI dalam hal ini bekerja sama dengan University Kyoto dan Sinar Mas. Dengan teknologi ini, dalam 1 menit sudah dapat dijernihkan sebanyak 60 liter air. LIPI menyiapkannya di beberapa titik.
''Sudah siap dipasang di Tanjung Leban,'' ujar Purwanto.
Konsep bio village ini berkaitan juga dengan penataan kawasan lahan gambut. Salah satunya adalah penanaman kembali lahan-lahan tidur yang terbiar. Selain pemberdayaan masyarakat lewat budidaya perikanan, ditawarkan juga konsep hutan tanaman rakyat (HTR). Peneliti dari Kyoto University, Prof Kosuke Mizuno PhD menyebut, dari hasil penelitiannya selama setahun di Desa Tanjung Leban, diketahui bahwa lahan gambut cagar biosfer ini kerap tergenang air di musim hujan dan kekeringan di musim panas. Kebakaran lahan pun kadang tak terelakkan dan meluas sangat dahsyat. Bahkan ketika sudah ditanami kebun sawit, kawasan zona penyangga ini pun masih sering terbakar.
''Banyak masyarakat yang akhirnya kapok dan membiarkan saja lahan itu setelah berulang kali terbakar,'' ujar Mizuno kepada Riau Pos.
Mizuno menyebut, saat ini banyak lahan yang terbiar begitu saja. Padahal lahan yang terbiar ini berpotensi mengakibatkan banjir di musim hujan dan terbakar di musim panas. Mizuno merekomendasikan penanaman pohon bintangur dalam konsep HTR. Dengan luas 17 ribu haktare dan terdiri dari banyak dusun, Desa Tanjung Leban bisa menghasilkan tanaman hutan yang layak jual, karena harga kayunya yang relatif mahal. Syaratnya masyarakat mau dan regulasi yang mengaturnya tidak memberatkan. Misalnya izin penebangan cukup dari kepala desa atau lurah setempat.
Dari hasil penelitian bersama Dr Watanabe dan Prof Dr Fujita, diketahui bahwa bintangur ini, dari segi cepatnya produksi sama dengan akasia. Namun dari segi ketahanan, pohon ini lebih baik. Pasalnya, pohon ini bisa hidup di lahan gambut yang becek. Ini yang membedakannya dengan ramin, akasia dan tanaman lain. Selama ini, gambut kawasan ini kerap terbakar karena airnya dikeringkan untuk lahan sawit yang tidak boleh basah.
''Dengan bintangur, lahan becek pun dapat dipakai, sehingga bagus untuk menata air. Sangat baik untuk menjaga kebakaran lahan. Tapi ini perlu regulasi yang baik agar masyarakat bisa menerapkan HTR di desanya,'' sebut Mizuno.
Kawasan inti cagar pun dinilainya sudah memiliki penataan air yang relatif baik. Tentu karena semuanya masih terdiri dari hutan alam, selain terlindungi HTI Sinar Mas Grup sebagai zona penyangga cagar. Zona inti cagar memang berada dalam kepungan HTI berupa tanaman akasia. Akasia ditanam dalam jarak yang rapat dengan ukuran yang nyaris sama. Di sekelilingnya yang membatasi antara hutan alam dan HTI terdapat kanal-kanal selebar 10 meter. Di antara kanal utama, terdapat juga kanal-kanal kecil yang memotong kanal utama dan membentuk petakan-petakan HTI seluas 300 hektare. Menurut humas IKPP, Sinar Mas Grup, Nurul Huda, kanal-kanal ini memiliki fungsi utama untuk penataan air HTI, agar kawasan ini tak tergenang di musim hujan dan tetap cukup pasokan air di musim kemarau. Kanal juga berfungsi untuk menjaga lahan dari kebakaran. Kanal-kanal ini difungsikan juga untuk sarana transportasi bagi personel yang masuk dan keluar kawasan.
''Masyarakat sekitar juga kita bolehkan mencari ikan di dalam kanal ini secara bergiliran. Di sini banyak juga baung, lele dan tapah,'' ujarnya.
Kanal-kanal itu memiliki sifat yang tidak mengalir, dan memutar untuk melingkupi areal HTI. Jika hujan lebat dan air melimpah, sudah disiapkan jalan air menuju ke Sungai Bukit Batu. Perwakilan Unesco, Paris, Dr Noeline Rakotoarisoa yang sempat meninjau Cagar Biosfer GSK-BB menilai penataan kawasan ini relatif baik. Noeline yang berasal dari Kongo melihat kanal-kanal ini bagus untuk penataan air dan menjaga core zone cagar dari kebakaran hutan dan lahan yang masih terus mengancam.
''Cagar ini perlu dipelihara dan penataan air adalah salah satunya. Jangan sampai terbakar,'' ujar Nouline.***
0 komentar:
Posting Komentar